Rabu, 29 Juni 2011

MEMBANGUN DAN MEMELIHARA NILAI-NILAI PERUSAHAAN

Oleh: Nyoman Marpa


Dalam sebuah sesi diskusi dengan beberapa pemilik perusahaan keluarga yang saat ini sudah berada pada generasi ke tiga dan keempat, penulis mendapatkan satu poin yang menarik, bahwasanya hampir semua dari mereka yang berhasil melewati lintas generasi, mempertahankan dengan kuat nilai-nilai yang ditanamkan oleh para pendiri mereka. Demikian pula hasil penelitian yang penulis lakukan pada 130 perusahaan keluarga di Provinsi Bali, menyimpulkan bahwa hampir semua perusahaan yang berhasil melewati lintas generasi memiliki nilai-nilai (values) yang kuat. Nilai-nilai ini dianut dan diikuti baik oleh anggota keluarga maupun karyawan di dalam perusahaan. Nilai-nilai ini pula yang telah menjadi perekat di antara para anggota keluarga, menjadi penyelamat dikala krisis dan konflik kepentingan terjadi.

Nilai-nilai atau kultur perusahaan sangatlah penting didalam membangun dan mempertahankan sustainabilitas perusahaan keluarga, disamping tiga hal pokok lainnya yakni: suksesi kepemimpinan (succession), tatakelola perusahaan dan keluarga (governance) dan perencanaan kesejahteraan (estate planning). Di banyak perusahaan keluarga didunia menunjukkan bahwa nilai-nilai atau kultur organisasi yang kuat akan berdampak pada performance jangka panjang mereka.

Setiap perusahaan keluarga adalah suatu yang unik, mereka memiliki kultur yang berbeda satu sama lain, kultur yang dibentuk oleh nilai-nilai yang diturunkan oleh sang pendiri kemudian berevolusi sesuai dengan perkembangan perusahaan. Walaupun pada intinya perusahaan keluarga memiliki empat kultur utama yakni: paternalistik, laissez-faire, partisipatif dan professional.

Nilai-nilai perusahaan berperan penting didalam membangun tata kelola perusahaan dan tata kelola keluarga (corporate and family governance), dengan nilai-nilai yang kuat kita dapat membangun tata kelola yang baik. Ini yang dinamakan tata kelola berdasarkan nilai-nilai atau value based governance. Perusahaan keluarga yang tidak memiliki nilai-nilai yang kuat tidak akan pernah memiliki tata kelola yang baik, tata kelola yang berjiwa, tata kelola yang didasari pada semangat bersama. Nilai-nilai ini juga akan mendasari bagaimana perilaku keluarga dan perilaku setiap orang dan setiap interaksi di dalam perusahaan. Merupakan “the way we doing business” atau “the way we do things around here”.

Untuk membangun nilai-nilai yang kuat perlu dilakukan beberapa tahapan yakni; pertama pendiri dan seluruh anggota keluarga membuat kesepakatan atau konsesi menganai bagaimana keluarga ini mengelola perusahaan, apa nilai inti yang disepakati, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh dilakukan. Kemudian dituangkan secara tertulis dan dijadikan sebagai dasar dalam membangun nilai-nilai kerja yang dianut oleh setiap orang yang berinteraksi di dalam perusahaan. Tahapan selanjutnya adalah tahapan governansi yaitu membuat tata kelola perusahaan yang baik berdasarkan jiwa yang ada didalam nilai-nilai yang dianut. Kemudian menjalankan tata kelola perusahaan dimaksud dengan konsekuen terhadap semua pihak yang berinteraksi di dalam perusahaan, tidak terkecuali para anggota keluarga. Dengan demikian maka akan terbentuk dan terpelihara dengan baik jiwa dan nilai-nilai yang dianut dan disepakati bersama secara jangka panjang.

Dengan nilai-nilai yang kuat, maka perusahaan keluarga akan memiliki karakter yang kuat dan tidak mudah diterpa oleh penyakit apapun, baik penyakit yang datang dari dalam maupun dari luar perusahaan dan keluarga. Sehingga sustainabilitas perusahaan dapat dipertahankan dari generasi ke generasi.

Penulis adalah Chairman the Center for Family Business Studies *Tulisan ini telah diterbitkan pada Harian Sinar Harapan tanggal 28 Juni 2011.

Rabu, 22 Juni 2011

SEMBILAN LANGKAH DALAM MENTRANSFER PERUSAHAAN


Oleh:  Nyoman Marpa



Banyak orang tua kebingungan kepada siapa perusahaannya akan diserahkan. Baik kepemilikan maupun kepemimpinan. Tidak semua perusahaan beruntung memiliki pewaris yang mengerti kehendak orang tua. Pewaris yang memiliki kemampuan serta kemauan untuk meneruskan perusahaan. Pewaris yang mengerti bahwa hanya salah satu dari mereka yang akan menjadi pimpinan puncak, sementara yang lainnya wajib mendukung usaha untuk meneruskan dan mengembangkan perusahaan. Demikian juga tidak semua perusahaan beruntung mempunyai pemilik yang mengerti keinginan dari para pewaris. Pemilik yang dapat memilih secara tepat kepada siapa dan bagaimana perusahaan sebaiknya diserahkan. Inilah persoalan utama dalam transfer kepemilikan dan kendali perusahaan keluarga. Ini pula yang membuat hanya sedikit perusahaan yang mampu melewatinya.

Transfer perusahaan tidak dapat dilakukan dengan tergesa-gesa, tidak seperti datang ke notaris, melakukan perubahan kepemilikan dan kepengurusan, lalu selesai. Transfer perusahaan harus dilakukan secara evolusi melalui tahapan-tahapan yang secara sistematis dan terencana yang akan membawa perusahaan kepada transisi yang halus dan berkelanjutan.

Ada sembilan langkah atau tahapan yang harus dilalui agar transisi dapat berjalan dengan baik, setiap langkah harus dilalui dan diselesaikan. Apa langkah-langkah itu? Langkah pertama, setiap anggota keluarga terlebih dahulu menyadari tantangan utama perusahaan keluarga adalah bahwa harmonisasi keluarga dan kesuksesan perusahaan seringkali tidak berjalan seiring dan seringkali menimbulkan konflik. Langkah kedua, menjadi keluarga pembelajar atau a learning family, yakni keluarga yang selalu fokus pada pengembangan kemampuan berorganisasi dan peningkatan efektifitas keluarga di dalam perusahaan. Langkah ketiga, membangun kesamaan visi diantara semua anggota keluarga serta membentuk team yang terdiri dari anggota keluarga. Kesamaan visi ini akan menjadi dasar bersama ke arah mana perusahaan akan bergerak dan bagaimana  setiap anggota keluarga berkontribusi. Langkah keempat, membangun komunikasi dan kemampuan penyelesaian konflik antar anggota keluarga, membangun satu dewan keluarga yang menjadi wadah dalam penyelesaian isu-isu penting serta membangun saling kepercayaan sesama anggota keluarga.

Langkah kelima adalah dimulainya pembagian kewenangan lintas generasi, pada tahapan ini pemilik dan pewaris bersama-sama berbagi kewenangan dalam mengelola perusahaan, yang menjadi tanda secara konkrit pemilik secara perlahan memberikan kepercayaan kepada para pewaris untuk mengambilalih pengelolaan perusahaan. Langkah keenam yakni membuat strategi dan perencanaan perusahaan yang sudah disesuaikan dengan visi kedepan dari keluarga. Ini yang dikenal dengan aligning the family and the business strategy. Berikutnya pada langkah ketujuh membuat tatakelola keluarga dan tata kelola perusahaan yang baik, dengan melibatkan anggota keluarga dan semua unsure di dalam perusahaan.

Setelah tujuh langkah tersebut, dan setelah adanya tata kelola keluarga dan tata kelola perusahaan yang baik, barulah kemudian perusahaan menjalankan langkah kedelapan, yakni mentransfer kepemilikan dan pengendalian perusahaan dari orang tua kepada pewaris. Dengan transfer tersebut, maka proses suksesi perusahaan telah selesai dengan baik.

Tahapan terakhir, tahapan ke sembilan, yakni orang tua memberikan pelayanan kepada perusahaan dengan membagi pengalaman, memberikan konsultasi serta mengingatkan kepada pewaris mengenai nilai-nilai dan visi keluarga yang harus tetap dijunjung di dalam setiap kebijakan perusahaan.

Dengan sembilan langkah tersebut, yang dijalankan secara tersistem dan konsisten, maka transfer kepemilikan dan kendali perusahaan keluarga akan berjalan dengan baik. Perusahaan keluarga akan dapat berkembang secara berkesinambungan dari generasi ke generasi.

Penulis adalah Chairman the Center for Family Business Studies *Tulisan ini telah diterbitkan pada Harian Sinar Harapan tanggal 21 Juni 2011.

Rabu, 15 Juni 2011

MERENCANAKAN SUKSESI KEPEMIMPINAN


Oleh: Nyoman Marpa

Masa paling kritis bagi perusahaan kelurga adalah saat-saat dilakukan transisi kepemimpinan dari pimpinan lama (incumbent) kepada penggantinya (sukseskor/successor). Hanya sedikit yang berhasil melewatinya. Tidak sedikit yang berakhir menyakitkan, perpecahan perusahaan, permusuhan antar anggota keluarga yang pada ujungnya mengorbankan banyak pihak; anngota keluarga, karyawan, konsumen, suplier, kreditor dan stakeholder lainnya yang bergantung pada hidup matinya perusahaan.

Walau demikian pentingnya, namun penelitian mengatakan tidak banyak perusahaan yang mempersiapkannya dengan sungguh-sungguh. Bahkan sebagian lagi sama sekali tidak memiliki perencanaan. Sehingga tidak jarang terjadi goncangan hebat pada saat pimpinan lama tiba-tiba tidak dapat mengendalikan perusahaan karna berbagai alasan, namun tidak ada satu pun penggantinya yang siap untuk mengambilalih. Atau tidak ada satupun pewaris yang ditunjuk dan disepakati untuk mengambilalih pimpinan sehingga terjadi perebutan dan pertempuran sesama pewaris. Tragis memang.

Dalam hal suksesi kepemimpinan perusahaan keluarga, Quentin J Fleming membagi suksesi menjadi dua tipe yakni suksesi secara evolusi (evolutionary succession)  dan suksesi secara revolusi (revolutionary succession). Evolutionary succession merupakan suksesi di mana proses suksesi didorong dan dikendalikan secara internal; direncanakan secara matang, melibatkan semua stakeholder, pendidikan dan pengembangan suksesor dipersiapkan dengan baik, seleksi dilakukan sesuai dengan kemampuan suksesor, dan lebih penting lagi proses peralihan tidak menimbulkan kekacauan pada semua lapisan organisasi.

Sementara suksesi yang dilakukan secara revolusi biasanya dilakukan atas desakan eksternal, seperti pimpinan lama mendadak tidak mampu atau tidak lagi bisa memimpin atau atas desakan-desakan lainnya. Suksesi jenis ini biasanya tidak direncanakan dengan baik, hanya melibatkan sebagian kecil pihak-pihak dalam perusahaan, tidak memiliki system pembinaan dan pengembangan suksesor yang baik dalam arti kata suksesor berkembang sendiri tanpa arahan yang jelas, seleksi dilakukan tanpa adanya ukuran-ukuran yang memadai sehingga setiap suksesor merasa berhak untuk menggantikan pimpinan lama. Suksesi tipe ini dapat dipastikan akan menimbulkan kerusakan dalam organisasi pada sekala yang berbeda-beda.

Apa yang perlu diperhatikan dalam merencanakan suksesi kepemimpinan? Beberapa ahli dalam bidang family business memberikan arahan mengenai hal-hal yang perlu diperhatikan yakni:
  1. Waktu suksesi (timing). Bila suksesor adalah anggota keluarga, pilihlah secara bijak, dan pilihlah sejak awal. Berikan kekuatan dan kesempatan untuk menyesuaikan, atau mengambil alih, dalam beberapa kasus mereka sudah tahu caranya. Neil K Churcil mengatakan bahwa pada saat pimpinan berumur 40 atau 45 tahun sudah sewajarnya dilakukan perencanaan terhadap siapa yang akan menggantikan.
  2. Persiapan dan Pengembangan suksesor (successor development). Calon pengganti harus dipersiapkan seperti; pendidikan formalnya, pelatihan-pelatihan yang harus diikuti, pengalaman di perusahaan lain, memberikan kesempatan untuk menangani masalah-masalah berat, memberikan kesempatan untuk berinteraksi dengan seluruh stakeholder dan yang tidak kalah penting memotivasinya untuk bersedia memimpin perusahaan.
  3. Perencanaan Suksesi (succession planning). Meliputi hal-hal yang berkenaan dengan; proses dan ukuran-ukuran dalam seleksi calon pimpinan, pengembangannya di dalam perusahaan, sosialisasi kepada seluruh stakeholder, dan tidak kalah pentingnya adalah proses peralihannya.
  4. Faktor-faktor keluarga (family factors). Hal-hal yang berhubungan dengan keluarga tidak dapat diabaikan karena dapat menghambat jalannya suksesi kepemimpinan seperti; komunikasi dalam keluarga, kepercayaan keluarga terhadap suksesor, komitmen keluarga untuk mendukung suksesor, loyalitas anggota keluarga terhadap perusahaan, konflik dalam keluarga, persaingan antar saudara, kebencian dan kecemburuan antar anggota keluarga.
  5. Relakanlah (letting go). Akhirnya, tidak ada cara untuk memastikan keberhasilan suksesor. Incumbent harus berani menentukan jadwal untuk melakukan suksesi, lalu keluar dari perusahaan secara lapang dada (legowo kata orang jawa). Masa depan perusahaan ada di pundak anak muda. Dukunglah. 

Penulis adalah Chairman the Center for Family Business Studies  *Tulisan ini telah diterbitkan pada Harian Sinar Harapan tanggal 14 Juni 2011.

Senin, 06 Juni 2011

MENGENAL COUSIN COMPANY


Oleh: Nyoman Marpa

Umumnya perusahaan keluarga didirikan oleh seorang wirausahawan, dia memiliki dan mengendalikan seluruh perusahaan. Perusahaan keluarga yang dibangun dan dipimpin oleh oleh seorang pemimpin tunggal dikenal dengan istilah Owner-Managed company. Saat pemilik-pengelola semakin berumur maka harus dibuat keputusan, apakah kepemilikan perusahaan akan diserahkan kepada salah satu anak, kepada lebih dari satu anak, atau tidak diserahkan pada satu pun. Keputusan tersebut sebagian dipengaruhi oleh hal-hal yang di luar kendali dari pemilik-pengelola seperti jumlah anak dan bakat masing-masing anak serta sebagian lagi keputusan tersebut merupakan hasil dari faktor-faktor yang sesuai kehendak pemilik, misalnya siapa yang disertakan dalam perusahaan serta kapasitas perusahaan untuk mengakomodir anggota keluarga.

Jika pemilik-pengelola menginginkan agar perusahaan tetap dimiliki keluarga, maka dapat dialihkan pada seorang pemilik–pengelola lain sebagai penerusnya atau dialihkan pada suatu kelompok pemilik bersaudara. Kepemilikan ini dikenal dengan  sibling ownership, dimana para anggota keluarga membentuk suatu Sibling Partnership. Pada saat inilah para generasi ke dua dari keluarga pemilik bekerja sama satu sama lain, berbagi tugas dan peran, untuk mempertahankan dan mengembangkan eksistensi perusahaan.

Bagaimana bentuk perusahaan setelah para saudara ini memutuskan mundur dari kepemilikan dan pengelolaan perusahaan? Masihkah perusahaan dapat bertahan ke generasi-generasi berikutnya? Ini pertanyaan yang kompleks. Karena, pada perusahaan yang dikelola sibling partnership, sebenarnya masing-masing keluarga dapat mengambil keputusan yang berbeda-beda. Mereka dapat menjual perusahaan, mengkonsolidasi kepemilikan mereka ke dalam satu cabang keluarga, membagi perusahaan kepada masing-masing saudara, atau mengalihkan kepemilikan pada semua atau beberapa sepupu pada generasi selanjutnya. Semua pilihan tergantung pada situasinya, tidak ada yang lebih baik atau lebih buruk.

Mengalihkan kepemilikan kepada generasi ketiga (para sepupu) dan generasi-generasi berikutnya dikenal dengan istilah Cousin Collaboration, sedangkan perusahaannya diistilahkan dengan cousin company. Pada tahap ini biasanya perusahaan sudah dalam kondisi yang stabil, sudah berumur dan memiliki pengalaman yang cukup, baik dalam mengelola perusahaan maupun dalam mengelola kepentingan-kepentingan keluarga. Perusahaan tahap ini biasanya memiliki struktur kepemilikan yang relatif seimbang, tidak ada personal atau keluarga yang dominan. Walaupun tidak semua anggota keluarga besar terlibat di dalam pengelolaan perusahaan, namun tetap saja akan ada banyak anggota keluarga yang ikut berkecimpung didalamnya.

Bagaimana cousin company dapat dikelola dengan baik? Memiliki visi yang kuat sangatlah penting untuk menyatukan arah perusahaan dan kesamaan wawasan pada para anggota keluarga. Kesamaan visi ini sangat penting, apabila dianggap perlu, anggota keluarga yang tidak memiliki visi yang sama dapat dipersilahkan untuk keluar dari kepemilikan perusahaan. Demikian juga sistem tata kelola keluarga (family governance system) disamping tata kelola perusahaan yang baik. Perlu diatur dengan tegas siapa-siapa yang bisa memiliki saham perusahaan, bagaimana tata cara pelepasan kepemilikan saham, siapa-siapa yang dapat ikut didalam pengelolaan perusahaan, bagaimana para anak-anak masuk dan berpartisipasi didalam perusahaan, bagaimana proses seleksi para calon-calon pimpinan perusahaan dan hal-hal lainnya yang perlu diatur dan disepakati bersama.

Dengan visi yang kuat dan tata kelola yang baik, niscaya cousin company akan lebih mudah untuk melewati generasi-generasi berikutnya, dan perusahaan keluarga ini dapat tetap sustain dari generasi ke generasi.

Penulis adalah Chairman the Center for Family Business Studies *Tulisan ini telah diterbitkan pada Harian Sinar Harapan tanggal 5 Juli 2011.