Kamis, 05 Januari 2012

MENYELAMATKAN PERUSAHAAN DAN KELUARGA MELALUI FAMILY COUNCIL

Oleh: Nyoman Marpa



Family Business Magazine  dalam edisinya beberapa waktu lalu bertutur mengenai kasus Midwestern Distribution Company. Sebuah perusahaan di Amerika  Serikat yang telah berumur 90 tahun dan sejak delapan tahun lalu  dikelola oleh generasi ketiga. Saat ini ada 122 orang anggota kelaurga yang terkoneksi dengan perusahaan ini. Diceritakan bahwa pada tahun 1992 perusahaan pertama kali mengalami masalah kewenangan (authority problems) seiring dengan pesatnya perkembangan perusahaan, masalah utama yang timbul saat itu adalah bagaimana pembagian kekayaan (estate planning) bagi setiap anggota keluarga baik bagi generasi ke dua maupun kepada generasi ketiga. Puncaknya pada tahun 1999 pada saat pimpinan perusahaan dari generasi ke dua mengalami sakit keras dan pada masa yang bersamaan terjadi kelahiran beberapa anggota keluarga generasi ke empat. Dalam kondisi tersebut semua pemegang saham berusaha menyelamatkan kekayaannya masing-masing. Perseteruan terjadi antar anggota keluarga sesama pemegang saham generasi ke dua. Semantara anggota keluarga generasi ke tiga tidak mendapat perhatian. Komunikasi antar anggota keluarga pada saat itu sangatlah buruk dan telah membawa perusahaan ke jurang perpecahan. Inisiatif brillian muncul dari beberapa anggota keluarga generasi ke tiga untuk melakukan pertemuan membahas bagaimana nasib dan masa depan perusahaan. Pertemuan keluarga pertama dilakukan oleh generasi ketiga ditengah compang-campingnya komunikasi antar anggota keluarga. Dalam pertemuan tersebut tercetuslah keinginan bulat dari seluruh anggota keluarga di generasi ketiga untuk memajukan perusahaan dan menbina hubungan keluarga dan perusahaan melalui rapat-rapat rutin anggota keluarga.

Cerita di atas merupakan satu contoh awal terbentuknya satu wadah yang secara informal namun sistematis membahas persoalan-persoalan keluarga dan perusahaan yang dilakukan oleh dewan keluarga atau yang dikenal dengan family council. Para pengusaha sukses biasanya berhasil merintis dan membesarkan usahanya melebihi apa yang pernah diimpikan. Namun kualitas hidup keluarga seringkali tidak berbanding lurus dengan dengan keberhasilannya dalam membesarkan perusahaan, sering kali keberhasilan perusahaan menghancurkan kualitas hidup keluarga. Dalam situasi seperti ini family council sering menjadi penyelamat baik perusahaan maupun keluarga.

Apa itu family council dan bagaimana mekanisme kerjanya? Family council bukanlah sekedar rapat anggota keluarga pemegang saham, atau reuni dan kumpul-kumpul keluarga dalam rangka merespon adanya krisis dalam perusahaan, tetapi lebih dari itu, family council merupakan pendekatan secara sistematis dalam rangka berbagi informasi baik mengenai perusahaan maupun pribadi anggota keluarga untuk mencari dan memberikan saran-saran dan terkadang membuat keputusan-keputusan keluarga.

Family council bukanlah lembaga resmi, namum merupakan satu wadah yang menampung kepentingan keluarga di dalam perusahaan untuk membahas berbahai hal seperti: siapa-siapa anggota keluarga yang akan berpartisipasi didalam perusahaan dan bagaimana keluarga lainnya mendukung mereka, bagaimana mengatur kesejahteraan anggota keluarga secara adil, bagaimana mengatur hubungan antara keluarga dengan para penasehat perusahaan, bagaimana mengatur hubungan keluarga dengan komunitasnya, mengklarifikasi kebijakan-kebijakan perusahaan, membuat usulan-usulan mengenai benefit bagi para manajer dan anggota keluarga, menyelaraskan antara tujuan-tujuan individu anggota keluarga dengan visi perusahaan serta memastkan bahwa nilai-nilai keluarga (family values) masih selaras dengan nilai-nilai yang dianut oleh perusahaan (business values).

Pada intinya family council  menjembatani komunikasi antara keluarga dan perusahaan, antara pihak-pihak yang mengelola perusahaan dengan pemegang saham keluarga yang tidak terlibat melalui pertemuan-pertemuan keluarga yang dilakukan secara sistematis. Family council akan membuat konsensus-konsensus keluarga yang ada hubungannya dengan tatakelola keluarga dan perusahaan.

Mengacu pada kasus di atas yang sangat mungkin  terjadi pada setiap perusahaan keluarga di manapun di dunia ini, maka sudah selayaknya perusahaan keluarga membentuk family council dalam upaya menyelamatkan perusahaan sekaligus keluarga.

Penulis adalah Chairman the Center for Family Business Studies

MENYATUKAN TIGA SISTEM DALAM SATU KEPENTINGAN


Oleh: Nyoman Marpa



Beberapa hari yang lalu, seorang teman baik, seorang Chief Executive officer (CEO) sebuah perusahaan asing yang ada Indonesia, memberikan pesan singkat berbunyi: “in the 21th  century, all companies are service company and the service resources are people, people…and people”. Pesan singkat itu bermakna sangat dalam, mengingatkan kembali betapa pentingnya unsur manusia bagi sebuah organisasi bisnis, yang akhir-akhir ini mereka tidak lagi menyebutnya  human resources melainkan human capital. Menegaskan bahwa manusia adalah modal utama bagi sebuah organisasi bisnis.

Sebagai pemerhati perusahaan keluarga, penulis memandang sumber daya manusia atau yang tadi disebut sebagai human capital memiliki dua sisi mata. Pertama, tentu saja, tidak diragukan lagi, bahwa manusia adalah penggerak utama jalannya perusahaan. Kedua, manusia dengan perbedaan latar belakang, kepentingan, status sosial, serta perbedaan peran, yang berkumpul dalam satu organisasi, memiliki potensi memunculkan adanya konflik-konflik kepentingan.

Tanpa kita sadari, bagi perusahaan keluarga (family business), konflik kepentingan ini bisa menjadi lebih kompleks. Hal ini sejalan dengan konsep behavioral theory of the firm, yang mengatakan bahwa perusahaan merupakan sekumpulan pihak yang berkontribusi dimana masing-masing elemen memiliki kepentingannya sendiri-sendiri. Maka akan semakin kompleks unsur manusia di dalamnya, semakin besar pula kemungkinan terjadi benturan-benturan kepentingan.

Tiga sistem inti
Untuk lebih menyederhanakan, para ahli manajemen perusahaan keluarga seperti Ernesto J. Poza, John L. Ward, Gerard Le Van, dan yang lainnya, memandang perusahaan dalam tiga kelompok yang saling berhubungan  yang mereka sebut dengan the three circle model of family business.

Ketiga kelompok ini saling berinteraksi, berkontribusi dan saling bersinggunan, yang berisikan: unsur keluarga, unsur bisnis dan unsur kepemilikan. Masing-masing unsur memiliki sistem dan tatanan tersendiri. Oleh karenanya di dalam perusahaan keluarga ada tiga sistem inti yang harus dipahami dan dikelola dengan baik yakni sistem keluarga (family system), sistem bisnis (business system) dan sistem kepemilikan (ownership system).

Memadukan tiga sistem yang saling berbeda, baik dari cara pandang maupun ukuran-ukurannya bukanlah hal yang mudah. Rasional dan outward looking yang menjadi tatanan dasar pada sistem bisnis berpadu dengan irasionalitas dan inward looking yang menjadi dasar dari sitem keluarga, time horizon yang menjadi dasar sistem kepemilikan berpadu dengan perpetualitas yang dimiliki oleh sistem keluarga dan bisnis. Ukuran-ukuran moneter (monetary measurement) berpadu dengan ukuran-ukuran yang lebih bertumpu perasaan dan lain sebagainya,  seringkali bercampur baur dalam satu wilayah dan rentang waktu yang sama, yang oleh Quentin J. Fleming dikenal dengan wilayah pertempuran hidup atau mati atau zone of mortal combat.

Dinamakan zone of mortal combat dikarenakan setiap pimpinan perusahaan keluarga atau siapapun berperan di dalam pengelolaan perusahaan dituntut untuk dapat menaklukkannya (dalam kata lain mengelolanya), apabila tidak ingin perusahaan jatuh. Kepiawaian mengelolanya adalah satu keharusan.

Penulis adalah Chairman the Center for Family Business Studies

Selasa, 03 Januari 2012

Tujuh Sindrom Mematikan


Oleh : DR. Nyoman Marpa

Berkenaan dengan hubungan antara keluarga dan perusahaan di dalam family business, ada tujuh kesalahan fatal yang dapat menghancurkan perusahaan. Oleh para ahli dikenal dengan the seven deadly sins. Sindrom ini sedapat mungkin dibuang. Jika satu saja dari tujuh sindrom ini ada di dalam perusahaan kita, maka perusahaan telah kehilangan imunitasnya. Tujuh sindrom ini berkaitan dengan bagaimana virus yang disebabkan oleh perilaku, pengalaman, perlakuan serta kaidah-kaidah yang tidak benar yang ada di dalam keluarga yang kemudian diteruskan ke perusahaan.

Ketujuh sindrom tersebut adalah; pertama adalah perlakukan, kebiasaan dan keyakinan-keyakinan yang ada pada masa kanak-kanak terbawa ke dalam perusahaan. Kehidupan masa lalu yang  diperlakukan istimewa oleh pendahulunya (orang tua), terbawa ke dalam perusahaan, kemudian muncul sifat-sifat seperti:  semua keinginannya harus cepat dipenuhi, semua harus mengikuti jalannya, manja dan kurang bertanggun jawab.

Ke dua, kegagalan untuk mengakui bahwa sistem bisnis berbeda dengan sistem keluarga. Kemudian memaksakan sistem-sistem dan tatanan yang berlaku pada keluarga ke dalam perusahaan. Seperti halnya herarki keluarga, anak tertua harus mengambil tanggung jawab paling besar, anak laki-laki harus mengambilalih perusahaan dan seterusnya, sedangkan kapabilitasnya belum tentu selaras dengan herarkinya. Hal lain juga seperti orang tua memberi perlakuan yang sama kepada seluruh anaknya, tanpa melihat aturan yang berlaku di perusahaan.

Ke tiga, orang tua tidak dapat menerima bahwa anak-anaknya sudah tumbuh dewasa dan dapat diberi tanggung jawab. Selalu dianggap masih kanak-kanak. Kemungkinan yang dapat terjadi adalah: anak akan frustasi karena tidak dianggap berkontribusi, atau dia akan memiliki ketergantungan yang sangat tinggi, bisa juga terjadi persaingan yang tidak sehat antara anak dan orang tua.

Ke empat, sindrom father knows best. Merupakan satu bentuk kegagalan untuk mengakui bahwa setiap anggota keluraga adalah satu individu, yang memiliki kreativitas dan pemikiran sendiri. Memaksakan bahwa orang tua yang paling benar dan harus diikuti. Dampaknya akan mematikan kreativitas dan inovasi, serta bisa jadi muncul pembangkangan dari generasi berikutnya.


 Ke lima, adanya pendiri perusahaan yang memilki karakter terlalu kuat yang dikultuskan oleh semua individu yang ada diperusahaan. Persoalannya adalah apabila pendiri tersebut tidak ada lagi di perusahaan, maka perusahaan akan kehilangan karakter dan kekuatannya.

Ke enam, gagal menatasi masalah-masalah pribadi antar anggota keluarga di dalam perusahaan yang cenderumg memuncak dan merusak. Konflik individu antar anggota keluarga dalam urusannya di perusahaan seringkali terpendam. Tata kelola perusahaan seringkali tidak mampu menyentuh dan menyelesaikan masalah ini. Dampaknya kemudian secara diam-diam masalah ini membesar dan berbahaya.

Ke tujuh, adanya anak-anak yang masuk ke dalam perusahaan namun masih memiliki masalah-masalah masa kecil mereka yang belum terselesaikan. Persoalan-persoalan antara kakak adik, anatara para sepupu di masa kecil dan remajanya harus sudah diselesaikan sebelum mereka masuk ke dalam perusahaan. Apa bila tidak, akan terbawa ke dalam urusan-urusan perusahaan dan berbahaya.

Demikianlah tujuh hal yang harus dihindarkan di dalam perusahaan keluarga dalam kaitannya dengan perilaku, tatanan dan perlakuan-perlakuan yang ada di dalam keluarga. Dengan menghindarkan ke tujuh sindrom tersebut, ditambah lagi dengan perencanaan strategis dan tata kelola perusahaan yang baik, maka perusahaan akan tumbuh secara berkesinambungan atau dalam kata lain memiliki sustainable growth.