Selasa, 26 April 2011

LIMA FAKTOR PENTING DALAM SUKSESI KEPEMIMPINAN PERUSAHAAN KELUARGA


Oleh: Nyoman Marpa

Suksesi merupakan satu hal penting dari tiga pilar sustainabilitas perusahaan keluarga. Kegagalan dalam suksesi adalah mematikan, tidak perduli seberapa besar dan kokohnya perusahaan. Dalam perusahaan keluarga suksesi melibatkan interaksi di dalam internal keluarga atau antar anggota keluarga dan interaksi anggota keluarga dengan perusahaan.

Berkenaan dengan interaksi dan kesiapan seluruh anggota keluarga dalam perencanaan dan proses suksesi kepemimpinan, para ahli manajemen perusahaan keluarga menegaskan ada lima hal penting yang menyangkut masalah internal keluarga yang sangat mempengaruhi keberhasilan dari suksesi kepemimpinan tersebut. Apabila salah satu dari kelima masalah ini ada dalam mekanisme dan pelaksanaan suksesi maka sangat memungkinkan suksesi tersebut akan gagal.

Hal pertama adalah masalah individu dari suksesor yang sering dikenal dengan istilah suksesor, masalah ini menyangkut beberapa hal seperti: ketidakmampuan dari suksesor untuk menjadi pemimpin, tidak adanya motivasi suksesor untuk melanjutkan dan atau memimpin perusahaan dengan alasan apapun, hilangnya calon suksesor secara mendadak yang disebabkan oleh berbagai hal seperti kematian, cacat, dan lain sebagainya, hal yang sama juga berlaku pada hilangnya orang tua secara mendadak, dan adanya perceraian orang tua atau orang tua menikah lagi.

Hal kedua adalah masalah ketidakharmonisan hubungan antara para pihak, seperti halnya adanya konflik persaingan antara orang tua dan anak, konflik di antara para anggota keluarga, konflik antara suksesor-orang tua-dan para professional di dalam perusahaan, adanya kurangnya kepercaraan terhadap suksesor dari para professional perusahaan, kurangnya dukungan dan atau komitmen dari para professional terhadap calon suksesor, serta ketidak harmonisan lainnya antara suksesor dengan stakeholder lainnya.

Hal ketiga adalah adanya masalah-masalah keuangan, seperti ketidakmampuan membayar pajak-pajak atas kekayaan atau saham yang diwariskan dari orang tua kepada anak (apabila ada), dan yang paling penting adalah keluarga belum menyiapkan perencanaan keuangan yang memadai kepada orang tua setelah dia melepaskan jabatan dan tidak lagi mendapatkan penghasilan rutin dari perusahaan.

Hal keempat adalah masalah-masalah kontekstual, seperti adanya perubahan yang drastis pada kinerja perusahaan, menurunnya skala usaha, adanya kehilangan pemasok dan pelanggan utama perusahaan. Hal-hal ini akan sangat mempengaruhi motivasi dari suksesor untuk meneruskan usaha keluarga.

Hal kelima dan yang tidak kalah pentingnya adalah masalah proses dari suksesi itu sendiri, hal ini menyangkut ketidakjelasan peran dari pimpinan lama dan suksesor, tidak terkomunikasinya dengan baik keputusan-keputusan suksesi kepada para anggota keluarga, kesalahan dalam mengevaluasi kesenjangan antara kemampuan dari suksesor dengan kebutuhan perusahaan, kurang handalnya kriteria dalam pemilihan calon suksesor, kurang terekspose nya calon suksesor kepada para stakeholder dan masalah-maslah proses suksesi lainnya.

Ke lima hal ini merupakan hal yang harus dipecahkan dan diselesaikan dengan baik, apabila tidak maka nasib perusahaan keluarga tinggal menunggu waktu. Kegagalan dalam suksesi kepemimpinan bisa berdampak pada banyak hal seperti meluasnya konflik, baik di dalam perusahaan maupun pada internal keluarga, kurangnya dukungan kepada pemimpin baru dari semua stakeholder yang berakibat pada penurunan kinerja yang menjurus pada hancurnya perusahaan dalam dimensi waktu yang berbeda-beda pada setiap perusahaan.

Penulis adalah Chairman the Center for Family Business Studies *Tulisan ini telah diterbitkan pada Harian Sinar Harapan tanggal 26 April 2011.

----000----

Rabu, 20 April 2011

WORK-FAMILY CONFLICT

Oleh:  Nyoman Marpa

Seorang CEO dari sebuah group perusahaan berkeluh kesah mengenai kakaknya yang hanya menghamburkan uang, tidak mau mengurus perusahaan dan perilakunya banyak dipengaruhi oleh istrinya yang sering merongrong perusahaan. Cerita lain lagi, seorang pimpinan perusahaan mengeluhkan ketidak cocokan antara anak dan keponakannya yang sama-sama ditugasi mengurus perusahaan warisan dari kakeknya. Percecokan keduanya telah hampir membuat perpecahan keluarga besar mereka. Ada lagi seorang ayah, pegusaha sukses, mengeluhkan kelakuan anak laki-laki pertamanya, yang lebih suka berfoya-foya, sementara anak perempuannya dengan tekun membantunya mengelola dan membesarkan perusahaan.

Seperti dongeng. Tapi, itulah faktanya. Ini adalah phenomena ketidakseimbangan peran (asymmetric role) yang banyak terjadi di perusahaan keluarga di dunia. Perlu diwaspadai, perusahaan keluarga tidak hanya menghadapi masalah-masalah perbedaan kepentingan antara pemilik dan pengurus, tetapi juga perbedaan peran antar sesama anggota keluarga.

Konflik Internal dan Sistem Perusahaan Keluarga
Fakta tersebut terjadi, tidak memandang besarnya perusahaan, berapa lama berdiri, dan sudah di generasi ke berapa. Persoalan ketidak adilan peran masing-masing anggota keluarga selalu saja muncul, yang lambat laun akan menciptakan konflik di antara angota keluarga (internal family conflict) dan berdampak tidak hanya pada kehancuran keluarga, tetapi juga kehancuran perusahaan.

Konflik internal keluarga ini bagaikan kutukan. Mengingatkan kita pada film yang berjudul curse of the golden flower. Sepertinya tidak dapat dihapuskan. Konflik yang muncul akibat perpaduan dua system yang saling bertolak belakang, yakni system perusahaan dan system keluarga. Pertemuan ke dua system oleh para ahli dikenal sebagai zona pertempuran yang mematikan (mortal combat zone). Para ahli menamakan konflik ini sebagai work-family conflict, yakni konflik yang terjadi karena perbedaan tensi antara keluarga dan perusahaan.

Konflik ini biasanya disebabkan oleh 3 hal yakni: waktu, perilaku dan irama. Waktu, yakni konflik yang terjadi karena ketidakseimbangan waktu yang dicurahkan oleh masing-masing anggota keluarga pada perusahaan.  Perilaku, yakni konflik yang terjadi karena perbedaan perilaku dan kinerja dari masing-masing anggota keluarga. Sedangkan irama (strain) adalah konflik yang terjadi akibat tidak samanya irama atau tensi pada perusahaan dan irama yang berlaku di keluarga, masalahnya tidak semua anggota keluarga dapat mengikutinya.

Bagaimana mengatasinya? Keluarga harus memiliki aturan (family governance) dan seluruh anggota keluarga harus patuh pada aturan yang ada. Perusahaan juga harus memiliki aturan (corporate governance) dan semua pihak yang terlibat, tidak terkecuali anggota keluarga, harus patuh pada aturan perusahaan. Dengan aturan tersebut, diharapkan setiap angota keluarga memiliki komitmen terhadap waktu yang harus dicurahkan kepada perusahaan, serta memiliki perilaku dan irama yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan, sehingga konflik tersebut tidak perlu terjadi.

Penulis adalah Chairman the Center for Family Business Studies  *Tulisan ini telah diterbitkan pada Harian Sinar Harapan tanggal 19 April 2011.

Rabu, 13 April 2011

MEMBANGUN KEPERCAYAAN


Oleh: Nyoman Marpa

Bisnis dibangun oleh kepercayaan (trust). Itu kata orang bijak. Kepercayaan para pelanggan, pemasok, karyawan serta stakeholder lainnya bertalian satu sama lain. Dengan kata lain bahwa bisnis akan habis pada saat kepercayaan sudah tidak ada lagi diantara para pihak dimaksud.

Pada perusahaan keluarga, trust diantara para anggota keluarga sangatlah penting. Kepercayaan bahwa mereka saling menjaga dan berkomitmen terhadap perusahaan, kepercayaan bahwa seluruh anggota keluarga telah menjalankan perannya masing-masing yang sering disebut altruism trust menjadi modal utama dalam mengelola perusahaan.

Dalam hubungannya dengan trust tersebut, para ahli perusahaan keluarga mengemukakan apa yang dikenal dengan the cycle of trust yang merupakan siklus saling percaya yang wajib dijaga dan dipelihara oleh seluruh anggota keluarga dalam rangka menjaga harmonisasi hubungan antara perusahaan dan keluarga.

Siklus tersebut berjalan seiring dengan tahapan-tahapan perusahaan. Ada tiga keprcayaan yang wajib saling dijaga sesuai dengan siklusnya yakni: Pertama, saling kepercayaan antar pribadi atau yang dikenal dengan interpersonal trust.  Biasanya sangat dibutuhkan pada tahapan awal perusahaan keluarga. Di hampir semua perusahaan keluarga di dunia interpersonal trust telah menjadi jiwa atau roh dalam menjalankan usaha, tidak saja bagi sesama anggota keluarga tetapi juga pada karyawannya. Perilaku antar anggota keluarga dan perilaku pemilik terhadap karyawannya sangatlah dipengaruhi oleh bagaimana hubungan antar pribadi masing-masing. Komunikasi sangat berperan di dalam menjaga interpersonal trust. Oleh karenanya komunikasi antar semua pihak pada tahapan awal perusahaan keluarga menjadi kunci saling kepercayaan tersebut. Dan juga menjadi kunci dalam pengelolaan perusahaan.

Kedua, adanya kepercayaan kompetensi atau competence trust. Bila pada tahap-tahap awal perusahaan keluarga, pada saat persoalan perusahaan belum terlalu kompleks, pihak-pihak yang terlibat belum terlalu banyak, maka adanya interpersonal trust sudah cukup untuk menjaga harmonisasi antara perusahaan dan keluarga. Namun pada saat persoalan perusahaan semakin kompleks, maka setiap anggota keluarga yang ikut dalam perusahaan dituntut memiliki kompetensi tertentu untuk dapat berkontribusi terhadap jalannya perusahaan. Pada tahapan ini, dibutuhkan lebih dari sekedar kepercayaan antar pribadi, tetapi juga kepercayaan dari seluruh anggota keluarga bahwa masing-masing anggota yang terlibat dalam perusahaan memiliki kompetensi. Dalam hal ini yang sangat penting adalah adanya  keterbukaan, termasuk keterbukaan menilai kompetensi diri masing-masing dan keterbukaan untuk menerima orang di luar keluarga (non family member)untuk ikut masuk kedalam pengelolaan perusahaan. Di banyak perusahaan, biasanya tahapan ini merupakan awal dari kolaborasi antara family members dan professional non family members.

Ketiga, dengan semakin besarnya perusahaan, semakin banyaknya pihak-pihak yang bergabung dan berkepentingan terhadap perusahaan. Semakin banyak pula anggota keluarga yang terlibat, maka seluruh anggta keluarga dan setiap elemen harus yakin bahwa system yang ada di perusahaan telah berjalan dengan layak. Inilah yang dikenal dengan system trust.  Keyakinan bahwa system telah berjalan dengan layak pada tahap ini sangatlah penting. Apabila tidak, maka akan menimbulkan ketidakpercayaan antar anggota keluarga. Dengan kata lain akan mengganggu kepercayaan antar  pribadi (interpersonal trust) dari para anggota keluarga.  Kunci untuk memastikan bahwa system yang ada  berjalan dengan layak adalah dengan melakukan transparansi pada setiap kebijakan dan pengelolaan perusahaan, dengan kata lain dengan menjalankan good corporate governance.

Perusahaan keluarga dituntut untuk memastikan siklus keperyaan ini berjalan dengan baik agar terjadi harmonisasi di dalam keluarga dan juga dalam hubungan antara keluarga dan perusahaan. Apabila tidak, maka dapat dipastikan bahwa keharmonisan keluarga akan terganggu dan perusahaan akan berada pada ambang kehancuran.

Penulis adalah Chairman the Center for Family Business Studies  *Tulisan ini telah diterbitkan pada Harian Sinar Harapan tanggal 12 April 2011.