Rabu, 09 Februari 2011

MEMPERKOKOH TIGA PILAR: MEMBUAT PERUSAHAAN KELUARGA BERTAHAN PULUHAN GENERASI


Oleh: Nyoman Marpa


Pada tulisan lalu kita telah membahas bahwa tidak semua perusahaan keluarga harus berhenti pada generasi ketiga. Banyak yang mampu melewati belasan bahkan puluhan generasi. Seperti harapan setiap pendiri agar perusahaan bisa bertahan lama (longevity)

Untuk membuat perusahaan keluarga dapat melawati satu generasi ke generasi generasi, ada tiga pilar yang harus direncanakan dan dikelola dengan baik. Ketiga hal ini merupakan satu kesatuan yang masing-masing tidak dapat dihilangkan atau diabaikan.  Ketiga pilar itu dikenal dengan sebutan segitiga perencanaan berkelanjutan (continuity planning triangle). Segitiga tersebut terdiri dari: perencanaan strategis perusahaan, perencanaan kekayaan dan keuangan keluarga dan perencanaan suksesi kepemimpinan dan kepemilikan.

Melihat hubungan antar pilar tersebut, seyogyanya kita tidak boleh hanya memikirkan perencanaan dan pengelolaan perusahaan dengan mengabaikan dua pilar lainnya. Karena jika diabaikan, dengan tanpa disadari akan terjadi ketidakseimbangan yang dapat membawa perusahaan ke arah kehancuran.

Namun mari kita lihat fakta yang menjadi kebiasaan perusahaan yang sering disebut busness like, keseharian kita disibukkan hanya oleh pilar pertama, perencanaan strategis perusahaan. Hari-hari kita, kegiatan-kegiatan perusahaan kita, pemikiran-pemikiran serta pembelajaran-pembelajaran yang kita dapat senantiasa bertumpu pada faktor setrategi dan operasional perusahaan saja. Bahkan selama ribuan tahun, pemikiran kita telah banyak dijejali oleh ilmu manajemen yang bertumpu pada satu titik, yakni perusahaan.

Perusahaan keluarga sudah seharusnya sejak awal mulai memikirkan pilar kedua dan ketiga. Perencanaan kekayaan dan keuangan anggota keluarga contohnya, tidak dapat diabaikan lagi.  Banyak konflik yang terjadi pada anggota keluarga yang berakibat pada hancurnya perusahaan, diakibatkan oleh ketidakadilan distribusi kekayaan dan keuangan kepada para anggota keluarga. Konflik ini terjadi pada sebagian besar perusahaan keluarga di dunia, tidak terlepas pada perusahaan di Indonesia. Sayangnya tidak banyak perusahaan keluarga yang memiliki aturan keluarga (family governance) yang jelas dan tegas yang mengatur distribusi kekayaan kepada setiap anggota keluarganya. Terlebih lagi mengenai perencanaan keuangan (personal finance) kepada anggota keluarga, sering tidak terpikirkan.

Kita tidak dapat bayangkan bagaimana perusahaan melewati generasinya jika dipenuhi oleh pertikaian dan konflik tersebut, yang tidak jarang berakhir pada pertumpahan darah bahkan mengarah ke urusan pidana. Sementara perencanaan keuangan bagi anggotanya pun tidak jelas. Dengan mudah dapat diprediksi, perusahaan keluarga jenis ini tidak akan dapat melewati satu generasi, sebagus apapun perencanaan strategi perusahaan.

Pemilihan siapa yang akan memegang tampuk kepemimpinan berikutnya, apakah dari keluarga atau dari luar keluarga, siapa anggota keluarga yang berhak menempati posisi tersebut, bukanlah hal yang mudah. Namun demikian, kesibukan melakukan aktivitas operasional perusahaan seringkali membuat perusahaan atau keluarga melupakan proses maupun persiapan-persiapan suksesi tersebut. Suksesi, baik kepemimpinan maupun kepemilikan seringkali baru disadari setelah perusahaan benar-benar terdesak oleh faktor-fraktor eksternal seperti kematian atau ketidakmampuan dari pimpinan lama dan sebagainya. Suksesi jenis ini oleh para ahli manajemen perusahaan keluarga dikenal dengan suksesi yang revolusioner yang tidak jarang membawa kematian bagi perusahaan.

Perkara suksesi adalah masalah transisi kepemimpinan yang tidak sederhana, melibatkan segenap stakeholder, oleh karenanya perlu disiapkan sedini mungkin. Dikatakan tidak sederhana karena disadari atau tidak suksesi menyangkut hal-hal yang sangat sensitif, seperti masalah kesiapan pimpinan lama untuk turun dan menyerahkan kepada pewarisnya, masalah penentuan siapa yang akan dipilih menjadi pengganti, masalah kesiapan pengganti, masalah penerimaan dari anggota keluarga, manajemen perusahaan, dan pihak-pihak lainnya. Melihat kompleksnya masalah tersebut, maka perencanaan suksesi semestinya sudah menjadi satu keharusan, kalau tidak ingin perusahaan berhenti pada generasi berikutnya, seperti yargon yang ada ”suksesi atau mati”.

Uraian di atas jelas menyiratkan bagaimana bahayanya apabila kita tidak dapat memadukan ke tiga pilar tersebut. Dampaknya tidak hanya pada kematian perusahaan, tetapi juga kehancuran keluarga. Maka ke tiga perencanaan tersebut merupakan suatu yang tidak dapat ditawar-tawar dan harus dipersiapkan secara dini dan matang apabila perusahaan ingin tumbuh dan berkembang selamanya.

Penulis adalah Chairman the Center for Family Business Studies  *Tulisan ini telah diterbitkan pada Harian Sinar Harapan tanggal 8 Februari 2011.

 

Rabu, 02 Februari 2011

MEMATAHKAN MITOS PERUSAHAAN KELUARGA HANYA MAMPU BERTAHAN TIGA GENERASI


Oleh: Nyoman Marpa

Seperti kita tahu bahwa ada jargon yang sangat terkenal mengenai daya hidup perusahaan keluarga yakni: generasi pertama membangun – generasi kedua menikmati – generasi ketiga menghabiskan. Jargon ini sering disebut dengan dale stale syndrome. Jargon ini sudah menjadi kutukan selama ribuan tahun. Kutukan yang seolah-olah tidak mampu dihindari oleh sebagian besar perusahaan keluaga di dunia.  Bahkan hasil penelitian mendapatkan fakta bahwa hanya sekitar 5% sampai dengan 10% perusahaan keluarga sampai pada tingkat tahap sibling ownership, yaitu tahap di mana perusahaan keluarga dikelola oleh keturunan pertama dari pendiri perusahaan.

Benarkah tidak ada perusahaan keluarga yang sanggup hidup lebih lama dari pada sekedar hanya bertahan di tiga generasi? Jawabnya tidaklah selalu demikian. Tidak perlu berkecil hati, dunia masih menyisakan banyak perusahaan yang dapat hidup ratusan tahun bahkan ribuan tahun. Perusahaan-perusahaan yang bisa dijadikan contoh bagi kita semua, kita jadikan acuan bagaimana mereka dapat bartahan demikian lama dengan melewati belasan bahkan puluhan generasi.

Kongo Gumi misalnya, sebuah perusahaan Jepang yang telah berdiri dari tahun 578 (1428 tahun) walaupun harus berakhir ditangan generasi ke 40 yakni Mazakazu Kongo.  Apa yang membuatnya bertahan demikian lama dan apa yang membuatnya harus mengakhiri perjalanan panjangnya adalah satu pelajaran sangat berharga bagi kita semua.

Dari perjalanan panjang perusahaan ini ada inti pemikiran yang dapat kita tarik yakni, bahwa ada dua hal yang  membuatnya bertahan begitu lama adalah: konsistensinya dalam menekuni industri yang dipilihnya yakni bidang konstruksi kuil (temple) tua, dan keberhasilannya mengelola suksesi antar generasi. Menurut James Olan Hutcheson seorang alhi dalam bidang family business regeneration, kasus ini telah memberikan satu pemikiran penting, bagaimana keluarga Kongo dalam mempertahankan perusahaannya ribuan tahun dengan prinsip: ”pick the stable industry and create flexible succession policies”. Kenyataan ini telah memberikan kita inspirasi bagaimana keluarga kongo begitu setia dan teguh untuk tetap pada jalur usahanya yakni usaha jasa konstruksi perbaikan dan pemugaran kuil tua yang bertahan dari tahun 578 sampai dengan tahun 1980 an. Serta persiapan dan strategi suksesi regenerasinya yang matang yang membuatnya mampu melewati generasi ke generasi, sungguh pencapaian yang luar biasa.

Beberapa perusahaan lagi yang dapat bertahan ribuan tahun yakni Hoshi, yang juga perusahaan keluarga Jepang bergerak dalam bidang hotel, berdiri sejak tahun 1300 dan masih bertahan sampai dengan saat ini setelah melewati 46 generasi.

Perusahaan keluarga lainnya: Château de Goulaine perusahaan perancis yang bergerak dalam bidang perkebunan anggur dan  museum berdiri sejak tahun 1000 dan telah melewati puluhan generasi, serta masih banyak lagi perusahan-perusahaan keluarga yang bisa kita jadikan contoh yang telah hidup ratusan tahun.

Bagaimana mereka dapat bertahan ribuan tahun dengan melewati batas-batas generasi? Pada intinya, seperti yang dikatakan oleh para ahli strategi manajemen, bahwa setiap perusahaan bertujuan untuk hidup dan tumbuh berkesinambungan (sustainable growth). Untuk dapat tumbuh secara berkesinambungan setiap perusahaan harus memiliki strategi bisnis (business strategy) yang handal.

Namun jika dalam non family business setiap perusahaan agar bisa tumbuh secara berkesinambungan cukup dengan memiliki strategi bisnis, maka dalam perusahaan keluarga tidaklah demikian. Perusahaan keluarga dituntut selain memiliki perencanaan strategi perusahaan juga harus memiliki perencanaan suksesi (succession plan) dan perencanaan keuangan dan kekayaan keluarga (family financial and estate planning). Perusahaan keluarga harus dapat memadukan ketiganya agar dapat bertahan hidup lebih lama.

Perusahaan keluarga harus mampu merencanakan secara matang dan memastikan proses peralihan dari satu generasi ke geneasi berikutnya berjalan dengan baik. Perusahaan keluarga juga harus memiliki perencanaan pendistribusian kekayaan dan kemakmuran terhadap seluaruh anggota keluarga berjalan dengan adil, baik bagi anggota keluarga yang terlibat maupun yang tidak terlibat di dalam pengelolaan perusahaan.

Dengan terpadunya ke tiga perencanaan tersebut, maka niscaya perusahaan keluarga dapat menghindari kutukan yang dinamakan dale stale syndrome, dan dapat bertahan hidup selamanya.

Penulis adalah Chairman the Center for Family Business Studies *Tulisan ini telah diterbitkan pada Harian Sinar Harapan tanggal 1 Februari 2011.