Selasa, 25 Januari 2011

MEMADUKAN KEPENTINGAN KELUARGA DAN PERUSAHAAN


Oleh: Nyoman Marpa

Perusahaan keluarga biasanya didirikan, dipimpin dan dikelola oleh anggota keluarga, walaupun sebagian dari perusahaan keluarga ini telah dikelola oleh para profesional yang berasal dari luar keluarga, namun tidak bisa dipungkiri bahwa segala keputusan strategis perusahaan biasanya masih dibawah kendali keluarga pemilik. Dengan kata lain bahwa disetiap perencanaan dan kebijakan strategis perusahaan selalu ada kepentingan keluarga (family interest) di dalamnya.

Namun sering kali kepentingan keluarga mengorbankan perusahaan atau sebaliknya kepentingan perusahaan juga dapat mengorbankan keluarga. Kenapa? Karena sering kali kepentingan ini bertolak belakang. Karena bisnis dan keluarga ditakdirkan memiliki sifat yang bertolak belakang, bisnsis memiliki sifat formal, obyektif, lebih melihat keluar (outward looking), serta memiliki ukuran-ukuran yang jelas, sementara keluarga memiliki sifat yang lebih informal, subyektif, lebih melihat ke dalam (inward looking) serta dengan ukuran-ukuran yang lebih nisbi. Namun walau bertolak belakang sebenarnya keduanya memiliki kesamaan yakni horisonnya sama-sama jangaka panjang. Perusahaan ingin hidup selamanya demikian pula keluarga mendambakan keharmonisan selamanya. Lain halnya dengan kepemilikan (ownership) yang sering kali dipersepsikan dengan tenggang waktu tertentu baik itu jangka pendek, menengah maupun jangka panjang.

Bagaimana dapat menyatukan antara kepentingan keluarga dan bisnis yang dua-duanya memiliki sifat yang berbeda? Tidaklah mudah. Pasti! Faktanya, banyak pengusaha yang berhasil tetapi keluarganya hancur berantakan, atau sebaliknya. Bahkan ada yang menggambarkan bahwa kesuksesan bisnis berbanding lurus dengan kehancuran keluarga. Tidaklah dapat disalahkan, karena seringkali kita bertemu dengan hal demikian. Kita seolah-olah melihat bisnis seperti monster yang siap memangsa seluruh anggota keluarga, semakin besar bisnis, semakin besar pula daya hancurnya.  Dilain pihak, tidak jarang pula kita melihat perusahaan hancur akibat perceraian antara swami-istri, atau akibat permusuhan atara orang tua dan anak atau permusuhan antar anak dalam keluarga, atau situasi-situasi lain yang diakibatkan oleh ketidaharmonisan keluarga pemilik. Situasi ini dapat menjadi contoh bagaimana ketidakharmonisan keluarga juga dapat menjadi monster bagi tumbuh kembangnya perusahaan, yang dapat melumat perusahaan besar sekalipun dalam waktu yang singkat.  Lalu siapa menjadi monsternya siapa?

Sebenarnya tidaklah selalu demikian, beberapa penelitian menemukan bahwa kelancaran dan kelangsungan hidup perusahaan juga bergantung pada keharmonisan keluarga, selain komitmen keluarga untuk membesarkan dan melanjutkan perusahaan.  Oleh karenanya, seharusnya semakin harmonis hubungan antar anggota keluarga berdampak pada kelancaran dan kelangsungan bisnis keluarga. Demikian pula sebaliknya, semakin sehat dan tumbuh kembang satu bisnis dapat dijadikan sebagai dasar untuk membina satu keluarga dalam jangka panjang. Seharusnya demikian.

Untuk itu paradigma kita harus dirubah. Kita tidak boleh lagi memandang perusahaan keluarga hanya sebagai organisasi ekonomi, tetapi juga sebagai wahana yang mengikat komitmen antar anggota keluarga. Bahkan kita harus beranggapan bahwa bisnis keluarga merupakan warisan leluhur yang harus dijaga oleh seluruh anggota keluara. Bukan sebagai kutukan harta karun yang menyebabkan perang saudara antar anggota keluarganya.

Bagaimana agar kedua kepentingan tersebut dapat saling mendukung dan bukannya saling mengacaukan. Jawabnya adalah bahwa harus ada aturan main (governance). Harus ada aturan-aturan baku yang mendasari jalannya perusahaan (corporate governance) yang senantiasa dipatuhi oleh setiap individu yang terlibat baik itu berasal dari anggota keluarga maupun bukan anggota keluarga. Harus ada  pula aturan-aturan keluarga (family governance) yang mengatur siapa-siapa saja anggota keluarga yang boleh ikut dalam perusahaan dan bagaimana peran masing-masing sesuai dengan kompentensinya. Dengan adanya governance tersebut maka kepentingan keluarga dan perusahaan dapat saling mendukung dan niscaya perusahaan akan tumbuh sehat dan keluarga akan harmonis selamanya.
Penulis adalah Chairman the Center for Family Business Studies *Tulisan ini telah diterbitkan pada Harian Sinar Harapan tanggal 25 Januari 2011.

----- 000 -----

Rabu, 19 Januari 2011

PERAN PERUSAHAAN KELUARGA DALAM PEREKONOMIAN


Oleh : Nyoman Marpa

Jarang yang menyadari bahwa perekonomian di dunia ini digerakkan secara signifikan oleh yang namanya perusahaan keluarga atau bisnis keluarga. Apapun sebutannya, ada yang menamakannya family business atau family enterprise atau juga family firm. Semuanya mengandung arti sebuah badan usaha yang dimiliki dan  dikendalikan oleh satu keluarga atau dua keluarga. Orang sering memandang sebelah mata atas keberadaan perusahaan atau bisnis keluarga ini. Bahkan dikalangan akademisi dan dihampir semua literatur manajemen, dengan segala arogansinya, telah menghilangkan peranan keluarga dalam setiap pengambilan keputusan atau kebijakan perusahaan. Pandangan manajemen modern telah secara tegas memisahkan urusan bisnis dengan urusan keluarga. Dilain pihak para pencari kerja telah menomorduakan yang namanya perusahaan keluarga sebagai tempat tujuan untuk berkarir. Pada intinya seolah-olah perusahaan keluarga tidak eksis atau tidak memiliki arti penting bagi dunia korporasi dan atau perekonomian dunia.

Kondisi ini sungguh bertolak belakang dengan fakta yang ada, bahwa 96% atau sebesar 159.000 dari 165.000 perusahaan yang ada di Indonesia merupakan perusahaan keluarga (Pikiran Rakyat, 16 November 2006). Berdasarkan data Biro Pusat Statistik, perusahaan keluarga di Indonesia merupakan perusahaan swasta yang mempunyai kontribusi besar terhadap Produk Domestik Bruto yaitu mencapai 82,44 persen. (Swara Karya, 28 Juni 2007).

Data dan fakta itu adalah kondisi di Indonesia, bagaimana dengan dibelahan bumi lainnya? Rupanya tidak jauh berbeda, Ernesto J.Posa (2007) mengatakan bahwa 80%-98% bisnis di dunia merupakan usaha keluarga, perusahaan keluarga menciptakan 64% GDP di Amerika Serikat dan diperkirakan perusahaan keluarga andil dalam penciptaan GDP di negara lain sebesar 75%. Perusahaan keluarga juga mempekerjakan sekitar 80% tenaga kerja di Amerika Serikat dan menampung lebih dari 85% pekerja di seluruh dunia. Di Amerika Serikat 85% peluang kerja baru diciptakan oleh perusahaan keluarga. Dari total perusahaan-perusahaan besar yang masuk yang masuk dalam Fortune 500 sebanyak 37% merupakan perusahaan yang dikendalikan oleh keluarga. Sedangkan 60% dari perusahaan-perusahaan yang go public di Amerika Serikat merupakan perusahaan yang juga dikendalikan oleh keluarga. Lebih dari 80% bisnis di Eropa dan Amerikat Serikat merupakan bisnis yang dilakukan perusahaan keluarga (Flintoff, 2002).

Selain itu perusahaan keluarga juga telah memegang peran penting dalam perekonomian di negara-negara lainnya seperti India, negara-negara Timur Tengah yang memiliki catatan bahwa 98% kegiatan komersial di dalam Gulf Cooperation Council, yang termasuk di dalamnya Negara Saudi Arabia, Kuwait dan hampir seluruh Negara teluk, merupakan usaha yang dijalankan oleh keluarga. Perusahaan keluarga juga memiliki peran penting bagi perekonomian Australia, dengan persentase sebesar 67% dari keseluruhan perusahaan swasta dan mempekerjakan  lebih dari 50% angkatan kerja. Di Jerman, di mana sektor manufakturnya didominasi oleh perusahaan multinasional besar, sebanyak 90,431 dari 107,094 perusahaannya dimiliki keluarga dan dipimpin oleh anggota keluarga (Kayser dan Wallau, 2002).

Dalam dunia korporasi mari kita sebut satu persatu, Wal-Mart, Ford Motor, Motorola, Samsung, LG Group Corp., Carefour, Tata Group (India), Saudi Binladin, BMW, Hyundai Motor, Toyota dan masih banyak lagi, adalah perusahaan-perusahaan yang dikendalikan oleh keluarga atau yang dinamakan perusahaan keluarga.

Dengan fakta tersebut masihkah kita memandang sebelah mata perusahaan atau bisnis keluarga? Masihkan kita berfikir bahwa urusan bisnis dan keluarga merupakan suatu yang dapat ditarik garis batas dimana satu sama lain tidak bisa saling bersinggungan? Masihkah kita mau menisbikan peran keluarga dalam pengambilan keputusan strategis di dalam perusahaan?

Penulis adalah Chairman the Center for Family Business Studies  *Tulisan ini telah diterbitkan pada Harian Sinar Harapan tanggal 18 Januari 2011.