Rabu, 27 Juli 2011

GO PUBLIC


Oleh: Nyoman Marpa

Dalam sebuah pertemuan dengan beberapa pemilik dan eksekutif perusahaan keluarga di sebuah forum, terlontar kalimat dari salah satu peserta, go public. Tanggapan dan pandanganpun beragam. Ada yang sangat tertarik, karena go public dipandang tidak hanya sarana untuk mendapatkan pendanaan murah, tetapi juga sebagai suatu cara untuk membuat pengelolaan perusahaan lebih profesional dan transparan, dikelola dengan cara-cara dan praktek bisnis modern, dikelola dengan standar-standar yang lebih terukur dan dapat dipertanggungjawabkan. Namun ada pula pemikiran lain, bahwasanya dengan menjual saham kepada masyarakat akan membuat kendali perusahaan yang selama ini absolut oleh keluarga, kemudian harus dibagi dengan orang lain. Belum lagi repotnya urusan pemenuhan laporan-laporan yang diharuskan oleh otoritas pasar modal. Ada pula yang memandang go public  sebagai sarana transisi dari satu generasi ke generasi selanjutnya, dengan menjual saham kepada masyarakat dan perusahaan dikelola oleh manjamen profesional dapat menjadi alternatif upaya kelangsungan hidup perusahaan apabila dipandang generasi penerus kurang memiliki kompentensi untuk melanjutkan perusahaan.

Banyak lagi pandangan lainnya seputar go public. Pandangan yang beragam tersebut tercipta dari pengalaman, kondisi serta persepsi para pemilik dan pengelola perusahaan keluarga yang datang dari latar belakang yang berbeda-beda, dari kondisi perusahaan dan keluarga yang juga berbeda-beda. Itu sah-sah saja dan benar adanya.

Perubahan dari perusahaan keluarga menjadi perusahaan publik, melalui penjualan saham kepada masyarakat tidak dapat dipungkiri memiliki banyak sekali manfaat, selain mendapat dana murah, akses yang tak terbatas terhadap sumber-sumber keuangan sehingga perusahaan dapat melakukan ekspansi yang lebih besar, juga untuk memaksa perusahaan mengikuti standar-standar manajemen yang baik. Dengan demikian diharapkan perusahaan dapat tumbuh dengan cepat dan terencana.
               
Namun demikian, urusan go public bagi perusahaan keluarga tidaklah sesedarhana itu, go public bukan hanya urusan bisnis atau urusan harga saham atau urusan akses keuangan atau lainnya. Go public adalah masalah yang sangat mendasar. Masalah menyerahkan sebagian kepemilikan kerajaan kepada orang lain dan berbagi kekuasaan. Tidak hanya itu. Penelitian yang dilakukan pada 200 perusahaan keluarga di Eropa, memperoleh gambaran bahwa keengganan mereka untuk go public juga disebabkan oleh masalah-masalah strategis seperti; dengan menjadi perusahaan publik maka perusahaan diharuskan untuk memaparkan strategi dan rencana ke depan kepada masyarakat. Ini berarti perusahaan harus membuka semua kartu yang dimiliki. Sedangkan dengan tetap menjadi perusahaan keluarga mereka dapat membuka kartu strateginya sesuai dengan kebutuhan dalam memainkan persaingan. Perusahaan publik juga dituntut untuk selalu tumbuh, evaluasi kinerja dilakukan setiap kuartal. Ini membuat horizon menjadi lebih pendek, sedangkan apabila tetap menjadi perusahaan keluarga, horizon waktu lebih fleksibel.    

Oleh karena demikian mendasarnya masalah go public bagi perusahaan keluarga. Tanpa mengurangi arti dan manfaat menjadi perusahaan publik, perlu kiranya dipersiapkan secara matang, tidak hanya kesiapan prosedural dan administrasi lainnya. Tetapi lebih penting lagi adalah kesiapan mentalitas keluarga untuk berbagi kekuasaan, berbagi kendali dengan masyarakat dan kesiapan manajemen untuk mematuhi segala aturan dari otoritas pasar modal. Apabila tidak, maka go public tidak akan memberikan manfaat berarti, bisa jadi hanya akan menambah beban dan konflik di dalam perusahaan.

Penulis adalah Chairman the Center for Family Business Studies  *Tulisan ini telah diterbitkan pada Harian Sinar Harapan tanggal 26 Juli 2011.

Rabu, 13 Juli 2011

TIGA SISTEM PENGELOLAAN PERUSAHAAN KELUARGA

Oleh : Nyoman Marpa


Apabila kita bertanya kepada pemilik perusahaan keluarga, menganai apa visinya terhadap perusahaan yang telah dirintis dan dibesarkan, jawabnya akan bermacam-macam. Sebagai harta kekayaan keluarga yang akan diwariskan kepada anak cucu, menjadi perusahaan yang terbaik dan terbesar di dunia, sebagai tempat keluarga melakukan investasi, dan masih banyak lagi jawaban lainnya. Berbagai macam visi inilah yang menyebabkan perusahaan keluarga menjadi satu hal yang unik sekaligus kompleks. Hal ini pula yang sering membuat para professional yang berbekal pendidikan manajemen modern terperangah pada saat ia pindah dari satu perusahaan keluarga ke perusahaan keluarga lainnya, yang seringkali menemukan hal yang sama sekali berbeda.

Memang, perusahaan apapun bentuknya memiliki kesamaan cita-cita yakni hidup selama-lamanya atau going concern, secara manajemen dikelola dengan prinsip-prinsip dan tata kelola yang sama. Namun perusahaan keluarga memiliki tingkat kompleksitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan non keluarga. Kompleksitas ini dikarenakan perusahaan keluarga harus mengakomodir tiga sistem yang saling terkait satu sama lain, yakni: sistem keluarga, sistem manajemen atau bisnis dan sistem kepemilikan.

Sistem mana yang menjadi prioritas, mestinya semuanya mendapat perhatian yang sama. Namun dalam tata laksana kelola perusahaan akhirnya tergantung pada visi pemilik masing-masing perusahaan. Hal itulah yang membuat kita sering merasakan adanya kekentalan atau prioritas pada salah satu komponen system tersebut. Ada perusahaan yang kental sekali dengan system keluarga, ada yang sangat kental dengan system manajemen bisnis ada pula yang sangat kental dengan visi kepemilikan atau ownership.

Tingkat kekentalan ini yang membuat terciptanya tiga system utama dalam pengelolaan perusahaan keluarga yakni; family first business, management first business, dan ownership first business, yang masing-masing memiliki cirri-ciri tersendiri.

 Pada perusahaan yang mengedepankan faktor keluarga, biasanya kesempatan kerja  tergantung pada keturunan atau kedekatan keluarga. Pendekatan ini menekankan bahwa perusahaan didirikan utamanya untuk kepentingan keluarga. Kompensasi seringkali diberikan secara seimbang berdasarkan kedekatan keturunan. Dikarenakan kepentingan keluarga menjadi fokus utama, sering kali komitmen untuk melanjutkan pengelolaan perusahaan oleh generasi penerus sering kali sangat tergantung pada agenda masing-masing individu penerus dan tingkat konflik pada individu-individu.

Sedangkan dalam pendekatan manajemen, kepentingan bisnis lebih diutamakan dibandingkan dengan kepentingan keluarga, terkadang acara keluarga seperti perkawinan pun sering dikorbankan demi kepentingan bisnis. Kinerja dari karyawan anggota keluarga dievaluasi sama seperti karyawan non anggota keluarga demikian juga dengan sistem kompensasi dan perencanaan karir mereka. Perusahaan dipandang sebagai aktiva produktif yang dapat dipindahtangankan dengan cara dijual atau melalui go public atau melalui employee stock option.

Pada pendekatan ownership first, terjadi reposisi atas kepemilikan perusahaan. Perspektif memiliki perusahaan untuk menguasai selamanya berubah menjadi perspektif yang lebih pendek, yakni investasi. Perusahaan bisa saja didirikan atau dibeli yang kemudian dipindahtangankan ke pemilik lain dalam waktu dekat. Kelangsungan usaha tidak menjadi isu penting, yang penting adalah pengembalian dari investasi. Transfer ke generasi berikutnya biasanya bukan dalam bentuk perusahaan tetapi berupa aset investasi.

Itulah tiga perspektif utama di dalam visi dan pengelolaan perusahaan keluarga, pendekatan mana yang akan diambil diserahkan sepenuhnya kepada masing-masing pemilik perusahaan keluarga.

Penulis adalah Chairman the Center for Family Business Studies  *Tulisan ini telah diterbitkan pada Harian Sinar Harapan tanggal 12 Juli 2011.