Selasa, 13 September 2011

PELAJARAN DARI NEWS CORP


Oleh:  Nyoman Marpa



Gonjang-ganjing skandal penyadapan  yang dilakukan oleh kelompok media News Corp memang sedang hangat dan membuat terperangah banyak pihak. Bagaimana satu kelompok media terkemuka melakukan hal-hal yang kurang terpuji dalam mendapatkan sumber berita serta melanggar etika-etika berbisnis yang. Memang sangat ironis, karena dilakukan oleh perusahaan yang berbasis di negara adidaya yang selama ini membanggakan diri dengan standar dan kode etik berbisnis kelas dunia dan dijadikan contoh oleh negara-negara lain didunia. Mengikuti kasus ini kita seolah-olah diingatkan pada salah satu film James Bond yang berjudul Tomorrow Never Dies yang berisikan praktik-praktik tidak terpuji yang melibatkan kelompok media terkemuka dalam menghasilkan berita.

Namun jauh ke dalam lagi, ada gegap gempita yang lebih seru. Gemerlapnya berita mengenai skandal ini tidak mengalahkan hingar-bingarnya masalah yang melibatkan keluarga Murdoch yang telah mendirikan perusahaan ini seajack 80 tahunan lalu, yang diakibatkan oleh kasus ini. Menurut berita yang dirilis oleh Family Business Magazine Bulan Juli 2011, kasus ini telah membuat keretakan diantara anak-anak Rupert Murdoch pemilik dan mantan pimpinan perusahaan ini. Hubungan antar anggota keluarga Murdoch memanas signifikan sejak mencuatnya kasus ini. Keharmonisan hubungan antara James Murdoch suksesor dari Rupert Murdoch dengan adiknya Elizabeth Murdoch dan kakaknya Lachlan Murdoch berada pada titik nadir. Disamping itu, tentu saja, dampak dari skandal ini akan merambah kepada kinerja perusahaan dimasa yang akan datang. Sampai-sampai banyak pihak menyarankan agar News Corp segera melakukan reformasi pada jajaran manajemen puncak perusahaan.

Sebagian orang menganggap ini adalah hasil pemilihan James Murdoch sebagai suksesor dari kelompok usaha ini. Beberapa pengamat mengatakan bahwa pengangkatan James sebagai pengganti Rupert menjadi pelajaran tentang bagaimana suksesi amat penting dalam kelangsungan perusahaan. Pengangkatan James dinilai tidak tepat. Financial Times menambahkan perlu dilakukan evaluasi atas kinerja James sebelum diangkat menjadi suksesor, perusahaan keluarga memang sering kali melakukan kesalahan pemilihan dikarenakan oleh alasan yang keliru. Dan ini amat berbahaya.

Pelajaran apa yang dapat kita petik dari kasus ini? Kekeliruan dalam melakukan pemilihan suksesor bisa terjadi di semua perusahaan keluarga, tidak terkecuali perusahaan besar. Bahkan semakin besar perusahaan bisa jadi semakin rumit permasalahannya. Sekali lagi, permasalahan suksesi adalah permasalahan multi dimensi. Proses penyiapan suksesor harus melibatkan berbagai aspek, tidak hanya dilihat dari kemampuan pribadinya saja. Masih banyak aspek lain, seperti kesungguhannya dalam memelihara nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh pendahulunya. Demikian pula dalam proses peralihannya, seyogyanya melibatkan sebanyak mungkin pihak-pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan, hindarkan sedapat mungkin subyektifitas. Suksesi seyogyanya melibatkan tidak hanya anggota keluarga tetapi juga stakeholder lainnya. Dilakukan secara evolusi bukan revolusi, yakni bertahap dari mulai bagaimana menyiapkan calon suksesor, memilih sampai pada melibatkannya di dalam urusan-urusan perusahaan, sampai pada bagaimana transfer kepemimpinan dilakukan.  Selain itu, kita dapat melihat adanya ketidakharmonisan di dalam keluarga Murdoch berpengaruh timbal balik terhadap kejadian-kejadian atau kinerja perusahaan. Ini memberikan kita pelajaran bahwa penting untuk menjaga keselarasan dua sistem yakni sistem keluarga dan sistem perusahaan.  Keharmonisan keluarga akan mendorong berjalannya sistem perusahaan secara baik dan akhirnya meningkatkan kinerja perusahaan dalam jangka panjang.

Chairman the Center for Family Business Studies *Tulisan ini telah diterbitkan pada Harian Sinar Harapan tanggal 13 September 2011.


------- 0000 ------ 

Rabu, 17 Agustus 2011

MENYIAPKAN SUKSESOR


Oleh: Nyoman marpa
.

Sebuah majalah bisnis ibukota pada bulan Maret 2011 memuat wawancara dengan Andreas dan Anton Faber-Castell generasi ke delapan dari pemilik industri pensil dan karet penghapus terkenal di dunia Faber-Castell.  Satu pernyataan yang mengindikasikan adanya tradisi suksesi yang sangat kuat dan patut kita contoh dari perusahaan keluarga yang sudah berumur  250 an tahun ini antara lain dikatakan oleh Andreas dan Anton sebagai berikut, ”ayah saya memilih kakak saya sebagai pimpinan perusahaan dan pemegang saham mayoritas, ia bukan anak tertua tapi dia yang dianggap paling qualified. Saya bekerja dibanyak perusahaan lain sebelum bergabung ke perusahaan keluarga demikian pula saudara saya yang lain. Kami dipilih untuk bergabung dengan perusahaan juga karena kualitas kami. Itu dilihat dari kesuksesan kami di luar perusahaan ini. Anak saya juga bekerja di perusahaan lain sekarang. Sangat penting bagi anak-anak untuk mengetahui bahwa mereka memiliki kesempatan di luar sana.”

Petikan tersebut sangat singkat, namun memiliki makna yang amat dalam. Bahwasanya suksesi kepemimpinan di dalam perusahaan keluarga seyogyanya dilakukan secara sistematis. Mengindikasikan bahwa suksesi tidak ada kaitannya dengan hirarki keluarga, tidak pula berkaitan dengan gender. Suksesi hanya berkaitan dengan kapabilitas dan integritas. Tidak perduli dia anak tertua atau termuda, laki-laki atau perempuan, semuanya memiliki kesempatan yang sama untuk menggantikan pendahulunya.

Menjadi calon pimpinan atau suksesor perusahaan keluarga disyaratkan secara mutlak memiliki dua hal yakni: kemauan dan kemampuan. Kemauan berhungan dengan kesediaan calon suksesor untuk meneruskan perusahaan yang telah dirintis oleh pendahulunya. Hal ini berkaitan dengan komitmen untuk memajukan perusahaan keluarga. Tidak jarang pewaris tidak bersedia untuk melanjutkan usaha orang tuanya, dan lebih suka meniti karir di tempat lain. Di Inggris misalnya, hasil penelitian mengatakan bahwa sebagian besar pewaris lebih suka  bekerja di tempat lain dibandingkan meneruskan usaha keluarga. Celakanya adalah, bahwa semakin tinggi kapabilitas pewaris membuat dia semakin tidak berminat untuk kembali ke perusahaan keluarga. Bagaiman membuat para pewaris yang memiliki kapabilitas bersedia tersebut bersedia bergabung dengan perusahaan keluarga bukanlah perkara mudah, karena personel yang memiliki kapabilitas biasanya memiliki banyak pilihan untuk berkarir di tempat lain di luar perusahaan keluarga.

Kemampuan suksesor berhubungan dengan beberapa hal seperti: kesesuaian dan tingkatan pendidikannya, pengalaman dan kesuksesan di tempat lain di luar perusahaan keluarga, lama waktu bergabung di dalam perusahaan dan usia dari suksesor.


Tingkat  pendidikan yang cukup akan memberikannya kemampuan untuk mencerna permasalahan. Pengalaman di luar perusahaan keluarga akan menjadi referensi penting  dalam memecahkan masalah dan mengambil keputusan. Sebagian besar pewaris yang sukses adalah mereka yang memiliki pengalaman dan kesuksesan di luar perusahaan. Lama waktu bergabung di perusahaan juga penting untuk memberikan kesempatan kepada  suksesor untuk memahami nilai-nilai perusahaan serta menjalin harmonisasi dengan pihak-pihak  yang terkait. Usia berkaitan dengan produktivitas dari suksesor, tidak boleh terlalu muda atau terlalu tua. Dia harus sudah menggantikan pendahulunya untuk memimpin perusahaan pada usia produktif.

Dengan menyiapkan siapa pengganti pimpinan perusahaan secara tersistem sepeti yang dilakukan oleh Faber-Castell kita telah menyiapkan peruahaan keluarga untuk melintasi generasi ke generasi dan mempertahankan sustainabilitasnya. Cara-cara yang tersistem tersebut hendaknya menjadi contoh bagi perusahaan-perusahaan keluarga di Indonesia agar dapat berkembang maju dari generasi ke generasi.

Penulis adalah Chairman the Center for Family Business Studies  *Tulisan ini telah diterbitkan pada Harian Sinar Harapan tanggal 16 Agustus 2011

Selasa, 16 Agustus 2011

BELAJAR DARI JEPANG


Oleh:  Nyoman Marpa

Jepang adalah negara yang memiliki perusahaan keluarga tertua terbanyak di dunia. Kongo Gumi dan Hosi Ryokan misalnya, merupakan dua perusahaan jepang yang menduduki peringkat pertama dan kedua tertua di dunia yang telah berumur lebih dari 1000 tahun. Bukan hanya itu, selain dua perusahaan tersebut, setidaknya Jepang memiliki enal lagi perusahaan yang umurnya lebih dari 1000 tahun sebut saja Keiunkan, Koman, Genda Shigyo, Tanaka-Iga, Nakamura Shaji dan Sakan.

Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Tokyo Shoko Research, Jepang memiliki tidak kurang dari 22.666 perusahaan yang berumur lebih dari 100 tahun, tidak kurang dari 3.146 perusahaan sudah berumur lebih dari 200 tahun. Sebagian perusahaan tersebut adalah perusahaan keluarga. Jumlah ini melebihi apa yang dimiliki oleh negera-negera besar di Eropa dan juga Amerika. Bahkan di Amerika Serikat, berdasarkan riset yang dilakukan oleh William T. Ohara, perusahaan keluarga tertua baru berdiri pada tahun 1623 yakni Zildjian Cymbal Co. Bandingkan dengan Kongo Gumi yang sudah berdiri sejak tahun 578 dan berumur sudah lebih dari 1400 tahun.

Kita dapat bayangkan bagaimana kokohnya fundamental ekonomi negara ini dengan dasar korporasi yang sudah berakar ratusan bahkan ribuan tahun. Dengan banyaknya perusahaan yang yang telah berumur ratusan tahun tersebut, membuat negara ini sangat stabil dan kuat secara ekonomi. Sampai sampai Michael Porter, ahli manajemen strategis,  mengatakan bahwa Jepang merupakan negara dengan tingkat persaingan yang sangat kuat di dunia. Negara yang sulit ditandingi oleh negara manapun di dunia. Tidak heran jika Jepang menjadi salah satu kekeuatan sentral ekonomi dunia yang sudah berlangsung lama dan akan berkelanjutan dimasa yang akan datang.

Korporasi yang sudah berumur ratusan bahkan ribuan tahun tersebut telah mengalami berbagai dinamika perkembangan, berbagai ujian, berbagai perubahan baik yang terjadi di dalam maupun perubahan-perubahan makro dunia. Perusahaan-perusahaan ini seolah-olah telah memiliki imunisasi dari virus-virus yang mengganggu perkembangannya. Banyaknya perusahaan kuat yang telah berumur tersebut dapat juga menjadi jaminan stabilitas penyerapan tenaga kerja, berbeda dengan kondisi negara yang korporasinya lemah dan kropos, setiap kali tenaga kerja dihadapkan pada pemutusan akibat perusahaan tempatnya bekerja tidak mampu lagi bertahan hidup.

Bagaimana dengan Indonesia? Mari kita memotret diri kita, dengan penduduk yang demikian besar, perusahaan yang berumur 100 tahun dapat dihitung dengan jari. PT. Pos yang mengklaim diri sudah berumur 265 tahun, semen padang yang semula bernama NV Nederlandsch Indische Portland Cemment yang berdiri tahun 1910, Jamu Iboe yang tercatat perusahaan keluarga tertua di Indonesia baru berdiri tahun 1910 dan masih ada sedikit korporasi peninggalan pendahulu kita, namun belum cukup untuk menopang ekonomi negara dengan penduduk yang demikian besar.

Oleh karenanya, belajar dari negara Jepang, dan mengingat besarnya peran korporasi terutama perusahaan keluarga di dalam menopang perekonomian negara, sudah selayaknya semua pihak berupaya untuk menjaga sustainabilitas perusahaan keluarga di Indonesia. Karena dengan menyelamatkan perusahaan keluarga berarti kita telah menyelamatkan perekonomian masyarakat dan negara. Apabila tidak, maka dimasa yang akan datang kita akan mengalami kondisi  ekonomi tambal sulam.

Penulisa adalah Chairman the Center for Family Business Studies *Tulisan ini telah diterbitkan pada Harian Sinar Harapan tanggal 16 Agustus 2011.


----0000----

Rabu, 10 Agustus 2011

MENIMBANG UNTUNG RUGI GO PUBLIC


Oleh: Nyoman Marpa


Pada tulisan terdahulu penulis jelaskan bahwa go public bagi perusahaan keluarga bukan hanya urusan keuangan, bukan juga hanya urusan penguatan permodalan. Go public juga merupakan masalah kesiapan keluarga untuk berbagi kekuasaan kepada orang lain. Oleh karenanya keputusan untuk menjual saham kepada masyarakat hendaknya dilakukan dengan pertimbangan yang sangat matang, karena menjadi perusahaan keluarga yang dimiliki oleh masyarakat atau yang dikenal dengan public owned and family run company memerlukan perubahan yang besar dan mendasar didalam tatanan perusahaan dan keluarga.

Dalam sejarahnya, banyak perusahaan keluarga yang sukses dan menjadi besar dengan menjual saham kepada masyarakat di Pasar Modal, namun tidak sedikit pula perusahaan keluarga yang tidak mendapatkan manfaat yang berarti. Disamping itu banyak juga perusahaan keluarga yang menjadi besar dengan tetap menjadi perusahaan tertutup.

Keuntungan merubah perusahaan keluarga menjadi perusahaan publik adalah pertama, saham perusahaan lebih marketable sehingga lebih mudah untuk mendapat akses pendanaan apabila membutuhkan dana lebih besar. Kedua, memperoleh dana lebih murah dibandingkan dengan apabila perusahaan meminjam di bank atau lembaga keuangan lainnya. Ketiga, meningkatkan nilai perususahaan karena dengan menjual saham kepada masyarakat maka struktur permodalan akan lebih baik sehingga nilai perusahaan bisa lebih tinggi. Keempat, meningkatkan prestise karena apresiasi masyarakat terhadap perusahaan yang go public lebih tinggi dibandingkan dengan perusahaan yang masih dimiliki dan dikelola penuh oleh keluarga. Selain itu go public juga dapat dijadikan wahana untuk memberikan insentif kepada karyawan atau non family manager dengan memberikan kesempatan atau opsi untuk memiliki saham perusahaan.

Sedangkan kerugian bagi perusahaan keluarga dengan merubah diri menjadi prusahaan publik melalui penjualan saham kepada masyarakat, pertama adalah adanya orang luar yang akan turut serta di dalam pengambilan keputusan perusahaan. Bagi keluarga yang selama ini dengan leluasa mengambil keputusan dan berpandangan bahwa perusahaan adalah kerajaan keluarga sehingga apapun yang diputuskan merupakan hal yang mutlak dilaksanakan, maka dengan go public akan terjadi pergeseran yang signifikan didalam pola pengambilan keputusannya. Bagi keluarga yang tidak mempersiapkan secara matang, maka pergeseran pola ini akan sangat berat dan menjadi hambatan yang berarti dalam perjalanan selanjutnya. Kedua adalah dengan menjual saham kepada masyarakat dan mencatatkannya di bursa akan memudahkan para pesaing untuk masuk atau mengambilalih sebagian saham perusahaan melalui mekanisme pasar modal, kalau ini yang terjadi akan dapat menyulitkan posisi keluarga dikemudian hari.

Dengan pertimbangan-pertimbangan tersebut, maka keputusan untuk menjual saham kepada masyarakat hendaknya dilakukan melalui pertimbangan dan persiapan yang matang karena apabila tidak, maka tidak menutup kemungkinan justru akan berakibat buruk bagi keluarga sebagai pendiri dan pemilik perusahaan.
Harus juga dilakukan reorientasi kepemilikan, artinya bahwa pandangan keluarga terhadap perusahaan yang didirikannya bukan lagi merupakan kerajaan yang hendak dimiliki sepenuhnya secara turun temurun, tetapi sebagai wadah untuk menciptakan kesejahteraan keluarga yang mungkin saja akan berpindah dari perusahaan satu ke perusahaan lainnya. Memang melakukan reorientasi ini tidaklah mudah, tetapi mau tidak mau harus dilakukan, karena apabila tidak, maka hasil dari go public tidak lebih dari sekedar frustrasi keluarga.

Penulis adalah Chairman the Center for Family Business Studies *Tulisan ini telah diterbitkan pada Harian Sinar Harapan tanggal 9 Agustus 2011.

Rabu, 27 Juli 2011

GO PUBLIC


Oleh: Nyoman Marpa

Dalam sebuah pertemuan dengan beberapa pemilik dan eksekutif perusahaan keluarga di sebuah forum, terlontar kalimat dari salah satu peserta, go public. Tanggapan dan pandanganpun beragam. Ada yang sangat tertarik, karena go public dipandang tidak hanya sarana untuk mendapatkan pendanaan murah, tetapi juga sebagai suatu cara untuk membuat pengelolaan perusahaan lebih profesional dan transparan, dikelola dengan cara-cara dan praktek bisnis modern, dikelola dengan standar-standar yang lebih terukur dan dapat dipertanggungjawabkan. Namun ada pula pemikiran lain, bahwasanya dengan menjual saham kepada masyarakat akan membuat kendali perusahaan yang selama ini absolut oleh keluarga, kemudian harus dibagi dengan orang lain. Belum lagi repotnya urusan pemenuhan laporan-laporan yang diharuskan oleh otoritas pasar modal. Ada pula yang memandang go public  sebagai sarana transisi dari satu generasi ke generasi selanjutnya, dengan menjual saham kepada masyarakat dan perusahaan dikelola oleh manjamen profesional dapat menjadi alternatif upaya kelangsungan hidup perusahaan apabila dipandang generasi penerus kurang memiliki kompentensi untuk melanjutkan perusahaan.

Banyak lagi pandangan lainnya seputar go public. Pandangan yang beragam tersebut tercipta dari pengalaman, kondisi serta persepsi para pemilik dan pengelola perusahaan keluarga yang datang dari latar belakang yang berbeda-beda, dari kondisi perusahaan dan keluarga yang juga berbeda-beda. Itu sah-sah saja dan benar adanya.

Perubahan dari perusahaan keluarga menjadi perusahaan publik, melalui penjualan saham kepada masyarakat tidak dapat dipungkiri memiliki banyak sekali manfaat, selain mendapat dana murah, akses yang tak terbatas terhadap sumber-sumber keuangan sehingga perusahaan dapat melakukan ekspansi yang lebih besar, juga untuk memaksa perusahaan mengikuti standar-standar manajemen yang baik. Dengan demikian diharapkan perusahaan dapat tumbuh dengan cepat dan terencana.
               
Namun demikian, urusan go public bagi perusahaan keluarga tidaklah sesedarhana itu, go public bukan hanya urusan bisnis atau urusan harga saham atau urusan akses keuangan atau lainnya. Go public adalah masalah yang sangat mendasar. Masalah menyerahkan sebagian kepemilikan kerajaan kepada orang lain dan berbagi kekuasaan. Tidak hanya itu. Penelitian yang dilakukan pada 200 perusahaan keluarga di Eropa, memperoleh gambaran bahwa keengganan mereka untuk go public juga disebabkan oleh masalah-masalah strategis seperti; dengan menjadi perusahaan publik maka perusahaan diharuskan untuk memaparkan strategi dan rencana ke depan kepada masyarakat. Ini berarti perusahaan harus membuka semua kartu yang dimiliki. Sedangkan dengan tetap menjadi perusahaan keluarga mereka dapat membuka kartu strateginya sesuai dengan kebutuhan dalam memainkan persaingan. Perusahaan publik juga dituntut untuk selalu tumbuh, evaluasi kinerja dilakukan setiap kuartal. Ini membuat horizon menjadi lebih pendek, sedangkan apabila tetap menjadi perusahaan keluarga, horizon waktu lebih fleksibel.    

Oleh karena demikian mendasarnya masalah go public bagi perusahaan keluarga. Tanpa mengurangi arti dan manfaat menjadi perusahaan publik, perlu kiranya dipersiapkan secara matang, tidak hanya kesiapan prosedural dan administrasi lainnya. Tetapi lebih penting lagi adalah kesiapan mentalitas keluarga untuk berbagi kekuasaan, berbagi kendali dengan masyarakat dan kesiapan manajemen untuk mematuhi segala aturan dari otoritas pasar modal. Apabila tidak, maka go public tidak akan memberikan manfaat berarti, bisa jadi hanya akan menambah beban dan konflik di dalam perusahaan.

Penulis adalah Chairman the Center for Family Business Studies  *Tulisan ini telah diterbitkan pada Harian Sinar Harapan tanggal 26 Juli 2011.