Rabu, 23 Maret 2011

PENTINGNYA GOOD FAMILY GOVERNANCE


Oleh: Nyoman Marpa


Persoalan umum yang terjadi pada perusahaan keluarga yang biasanya dapat memacu konflik antar anngota keluarga, baik yang terlibat langsung dalam pengelolaan perusahaan maupun yang tidak terlibat langsung adalah adanya ketidak seimbangan peran. Ada yang merasa telah berbuat banyak untuk perusahaan namun tidak mendapatkan imbalan yang memadai. Hal ini terjadi karena biasanya nilai-nilai yang dianut oleh keluarga lebih mementingkan haromonisasi ketimbang perhitungan role and reward. Ketidakseimbangan peran ini sering disebut dengan asymmetric altruism. Persoalan ini sering tidak terlihat secara kasat mata, namun menjadi bara dalam sekam yang sewaktu-waktu dapat membakar tidak hanya perusahaan tetapi juga keluarga.

Perusahaan keluarga biasanya memiliki 3 tahapan (phase) yakni; tahapan awal di mana pendiri dan pemilik sekaligus sebagai pengelola perusahaan, pada tahap ini sepertinya belum terasa adanya ketidakseimbangan peran, karena anggota keluarga yang terlibat dalam pengelolaan perusahaan biasanya sebatas suami-istri. Pada tahapan ini masalah utama adalah pada saat proses alih generasi, saat pendiri akan melepaskan kepemimpinan perusahaan kepada penerusnya.

Persoalan asymmetric altruism biasanya baru muncul pada generasi ke dua, saat perusahaan dimiliki dan dikelola oleh dua keluarga atau lebih, tahap ini dikenal dengan tahap sibling partnership. Persoalannya adalah tidak semua anggota keluarga memiliki keahlian yang sama, interest yang sama, pandangan yang sama tentang perusahaan. Bibit-bibit perselisihan biasanya telah muncul pada tahap-tahap awal transisi dari generasi pertama ke generasi ke dua, kemudian berlanjut secara terus menerus dalam kadar dan tensi yang berbeda-beda. Konflik ini diperparah lagi dengan masuknya pihak ketiga seperti suami atau istri dari anggota keluarga. Celakanya adalah bila perusahaan tidak memiliki pemimpin yang kuat, krisis dan konflik yang terjadi bisa menjadi genderang kematian. Inilah salah satu penyebab ketidakmampuan perusahaan keluarga melewati generasi ke dua.

Pada tahap ketiga lebih kompleks lagi, tahap ini dikenal dengan cousin collaboration, perusahaan telah dikelola oleh generasi ketiga yang terdiri dari para sepupu. Semakin banyak keluarga yang terlibat, keseimbangan peran sudah merupakan suatu yang sulit ditemui.  Ketidakpuasan salah satu anggota keluarga akibat role and reward sering terdengar pada kadar sembunyi-sembunyi atau terang-terangan. Keluarga dan perusahaan seringkali pada kondisi puncak perselisihan. Apabila tidak dikelola dengan baik, perusahaan hanya memiliki dua pilihan, hancur atau terpecah.

Good Family Governance
Dalam sebuah penelitian, penulis mewawancarai beberapa perusahaan keluarga yang telah melewati generasi kedua dan sekarang dikelola oleh generasi ke tiga. Ada satu prinsip yang sama-sama mereka miliki dalam menciptakan keadilan role and reward pada setiap angota keluarga yakni adanya tatakelola keluarga (family governance). Tatakelola ini menyangkut banyak hal seperti: siapa-siapa yang boleh ikut dalam pengelolaan, persyaratan-persyaratan untuk menduduki jabatan tertentu, bagaimana pembagian keuntungan serta distribusi kekayaan kepada sesama anggota dan lain sebagainya.

Bentuk tatakelola keluarga bisa bermacam-macam, ada yang menyebutkan bahwa hanya keluarga inti yang boleh ikut dalam pengelolaan perusahaan, atau juga hanya anggota keluarga yang telah membuktikan pencapaian (achievement) nya di luar yang bisa ikut dalam pengelolan perusahaan, atau setiap anggota keluarga yang terlibat dalam perusahaan harus mematuhi semua ketentuan yang berlaku di dalam perusahaan tanpa terkecuali. Masih banyak lagi aturan dan konsensus yang dapat dibuat bersama seluruh anggota keluarga yang kemudian dijadikan acuan bersama dalam membina hubungan antara perusahaan dan keluarga.

Aturan dan kesepakatan-kesepakatan bersama harus dipatuhi oleh seluruh anggota keluarga baik yang terlibat langsung maupun tidak langsung dalam pengelolaan perusahaan. Apabila dipandang perlu, kesepakatan-kesepakatan ini dibakukan dalam pernyataan bersama dan mengikat pada seluruh anggota keluarga. Dengan adanya tata kelola keluarga yang baik (good family governance) diharapkan konflik antar anggota keluarga dapat diminimalkan dan perusahaan dapat mengelola sumber daya yang ada dengan baik tanpa adanya gangguan dari pihak keluarga. Semoga.

Penulis adalah Chairman the Center for Family Business Studies  *Tulisan ini telah diterbitkan pada Harian Sinar Harapan tanggal 22 Maret 2011.

Rabu, 16 Maret 2011

MEMBANGUN FAMILY OFFICE


Oleh: Nyoman Marpa


Pertumbuhan yang berkesinambungan (sustainable growth) menjadi tujuan utama setiap perusahaan, semua perusahaan memimpikan adanya pertumbuhan berkesinambungan selama-lamanya. Seluruh sumber daya strategis perusahaan saat ini dikonsentrasikan untuk meraih dan mempertahankannya. Namun bagi perusahaan keluarga tidaklah cukup, selain pertumbuhan perusahaan yang berkesinambungan dibutuhkan perencanaan keluarga yang berkelanjutan yang dikenal dengan family continuity planning, yang terdiri dari perencanaan suksesi (succession plan) perencanaan kemakmuran bagi keluarga pemilik (family estate/wealth plan).

Apabila masalah-masalah sustainable growth perusahaan sudah ditangani ditangani oleh manajemen perusahaan dengan seperangkat organisasi serta dengan segala bekal teori dan ilmu yang telah berkembang pesat. Lalu, untuk masalah family continuity planning menjadi tanggung jawab siapa? Tentunya menjadi tanggungjawab seluruh anggota keluarga. Namun fakta mengatakan hanya sedikit yang perduli mengenai masalah ini. Sehingga sering kali ketidakmampuan keluarga dalam mengelola masalah-masalah yang berkaitan dengan hal-hal tersebut telah mengakibatkan kehancuran keluarga dan perusahaan. Seperti apa yang ditulis oleh Rebeca A. Meyer pada  Family Business Magazine Desember 2010, mengatakan bahwa mayoritas perusahaan yang dimiliki oleh keluarga tidak memiliki perencanaan suksesi dan juga tidak memiliki perencanaan strategi jangka panjang, lebih parah lagi dua pertiga dari mereka tidak memiliki suksesor yang dipilih. Sungguh mengenaskan.

Bagaimana keluarga dapat memikirkan dan mengelola hal-hal tersebut, sementara semua energy dan waktunya telah dicurahkan untuk mempertahankan hidup perusahaan serta membuatnya tumbuh secara berkesinambungan? Jawabannya adalah dengan membangun apa yang namanya Family Office. Di Negara-negara barat saat ini family office sedang menjadi trend terutama bagi perusahaan keluarga sekala menengah dan besar.

Apa sebenarnya family office? Pada dasarnya family office adalah sebuah organisasi yang memberikan jasa advisori mengenai investasi dan pengelolaan kekayaan anggota keluarga. Didirikan oleh anggota keluarga dimana kepemilikan dan aktivitasnya dikendalikan sepenuhnya oleh anggota keluarga. Family office merupakan satu organisasi yang unik yang dikendalikan oleh aggota keluarga yang bertujuan untuk mengelola kesejahteraan dan mempertahankan nilai-nilai yang dianut oleh keluarga. Organisasi ini terlepas dari organisasi perusahaan, dimana keluarga pemilik yang dibantu oleh beberapa professional atau oleh konsultan – seperti yang banyak terjadi di Amerika – berkumpul untuk menentukan arah dan visi keluarga, menyiapkan perencanaan-perencanaan keluarga termasuk perencanaan suksesi dan perencanaan distribusi kekayaan untuk seluruh anggota keluarganya.

Terbentuknya family office paling tidak memiliki beberapa kegunaan yakni; Untuk mengedalikan keputusan-keputusan yang dibuat yang menyangkut hubungan antara keluarga dan perusahaan, menjaga kelangsungan dan kesinambungan dari kerukunan keluarga, menjadi tempat pengeloaan masalah-masalah antara keluarga dan perusahaan yang semikin kompleks secara professional, mengintegrasikan strategi perusahaan dan implementasinya untuk kepentingan yang maksimal bagi keluarga dan stakeholder lainnya, memberikan pelayanan kepada masing-masing anggota keluarga atas masalah-masalah yang dihadapi, menjaga Kerahasiaan keluarga dan privasi dari masing-masing angota keluarga serta menjadi wadah pendidikan bagi anggota keluarga inti dalam rangka menyiapkan diri untuk menjadi pemimpin perusahaan masa depan.

Family office dirancang untuk mempersiapkan anggota keluarga secara bersama-sama mengelola kekayaan mereka dari generasi ke generasi. Serta membantu seluruh anggota keluarga dalam mengelola perpajakan, investasi dan pengelolaan dana milik keluarga, perencanaan dan pengelolaan assets-assets keluarga, mendukung aktivitas-aktivitas sosial keluarga, memberikan bimbingan kepada anggota keluarga mengenai pengelolaan keuangan, menjaga aturan-aturan keluarga agar tetap dipatuhi serta pengelolaan pengalihan kepemilikan dan kepemimpinan dari satu generasi ke generasi berikutnya.

Dikarenakan masing-masing anggota keluarga sebagian juga menjadi pengelola pada perusahaan-perusahaan yang dimilikinya, sering kali kegiatan family office ini diserahkan kepada konsultan yang memiliki keahlian dalam manajemen perusahaan keluarga. Sehingga hal-hal yang berkaitan dengan family continuity planning tetap berjalan. Di Indonesia, dengan semakin kompleksnya urusan-urusan perusahaan serta kompleksnya hubungan antara perusahaan dan keluarga sudah waktunya untuk membentuk family office agar terjadi keselarasan antara sustainable growth perusahaan dengan family continuity planning. Sehingga perencanaan jangka panjang perusahaan dapat didukung oleh perencanaan-perencanaan keluarga yang matang.

Chairman the Center for Family Business Studies *Tulisan ini telah diterbitkan pada Harian Sinar Harapan tanggal 15 Maret 2011.

Rabu, 09 Maret 2011

PRINSIP DASAR TRANSFORMASI PERUSAHAAN KELUARGA


Oleh: Nyoman Marpa


Bagi sebagian besar perusahaan keluarga, melakukan transformasi manajemen merupakan hal yang tidak mudah. Merubah perilaku berbisnis yang selama berpuluh-puluh tahun telah dilakukan bukanlah perkara gampang. Perusahaan dan semua unsur yang terlibat didalamnya telah terbiasa dan nyaman dengan cara-cara terdahulu tidaklah mudah untuk berubah ke cara-cara berbisnis yang baru. Walau mereka mengetahui bahwa cara-cara lama yang mereka jalankan tidaklah benar. 

Di sisi lain, seringkali perusahaan telah menyadari bahwa dirinya harus berubah, namun melakukan perubahan bukanlah hal yang mudah. Kita seringkali terbentur pada implementasi yang tidak sederhana serta pemahaman semua pihak (stake holder) yang kurang sehingga kurangnya dukungan. Seperti dikatakan oleh Grant Dennis, pemilik dan CEO Dennis Family Corporation di Australia, ”Professionalizing the family business sounds quite easy in principle, but the easy part is probably determining what is it you want to do and how you want to structure it. The hard part is actually implementing it and ensuring that what you put into place is what you want to put into place and that it works. But more importantly, that everybody involved understands how it works and why it works and what their responsibilities are. It takes a considerable amount of time to follow through this process”.

Selain itu disadari atau tidak, bahwa setiap perubahan selalu akan menimbulkan konflik, selalu saja ada pihak-pihak yang merasa tidak perlu berubah, atau yang sudah nyaman dengan kondisi saat ini, dengan cara-cara, paradigma, perilaku yang berlaku saat ini. Sebagian lagi tidak memahami kenapa harus berubah.

Seperti yang ditururkan oleh Marta Yao, yang telah melakukan penelitian cukup lama mengenai perubahan dan profesionalisme manajemen pada perusahaan keluarga, menjelaskan bahwa perubahan selalu menimbulkan konflik di dalam perusahaan keluarga dan merupakan tantangan berat yang dihadapi berkenaan dengan adanya kompleksitas perusahaan keluarga saat ini. Yao mengatakan bahwa; tidak ada perubahan tanpa konflik, bahwa transisi adalah sumber utama dari konflik tersebut, dan perubahan itu mahal.

Dikatakan mahal dikarenakan untuk membuat perubahan dibutuhkan sumber daya (resources) dan komitmen (commitment) yang tidak sedikit. Resources tidak hanya berupa sumber daya finansial dan sumber daya lainnya yang memang tidak sedikit, tetapi juga membutuhkan waktu dan pemikiran yang tidak sedikit. Komitmen untuk melakukan perubahan ke dalam manajemen modern bukanlah hal yang mudah, karena perubahan itu sendiri tidak memberikan hasil yang instan, perlu waktu dan keseriusan semua pihak untuk menjaga agar perubahan tetap pada jalurnya. Sehingga tidak jarang perusahaan keluarga akhirnya menyerah untuk tidak melakukan perubahan dan tetap berjalan dengan apa adanya, walaupun mengetahui bahwa hal itu tidaklah benar.

Bagaimanapun sulitnya,  seperti yang dilakukan oleh Garuda Food, Sudamek AWS berpesan kepada perusahaan keluarga di Indonesia untuk melakukan transformasi. Transformasi dari cara-cara lama yang yang konvensional ke dalam tata kelola perusahaan dengan tatanan manajmen profesional. Karena dengan cara itu lah, perusahaan keluarga saat ini dapat bertahan dan dapat melakukan transisi dari generasi satu ke generasi berikutnya. Tanpa adanya transformasi, akan sulit bagi perusahaan keluarga untuk menghadapi kompleksitas persoalan-persoalan yang dihadapi, baik itu persoalan bisnis sehari-hari, persoalan transisi kepemimpinan, maupun persoalan-persoalan internal keluarga pemilik. Seperti layaknya seekor kepompong ”transform or die”.

Jim Collins dalam bukunya Good to Great mengatakan bahwa prinsip dasar merubah sesuatu mulailah dari manusianya. Kita tidak bisa merubah apapun kalau manusia yang ada dalam perusahaan masih manusia lama, artinya manusia dengan perilaku lama, dengan pandangan-pandangan dan paradigma lama. Berkenaan dengan manusia dan transformasi ia mengatakan”get the right people on the bus and build a superior executive team”. Dengan demikian, transformasi akan dapat berjalan dengan baik.

Penulis adalah Chairman the Center for Family Business Studies  *Tulisan ini telah diterbitkan pada Harian Sinar Harapan tanggal 8 Maret 2011.

Rabu, 02 Maret 2011

SAATNYA PERUSAHAAN KELUARGA BERTRANSFORMASI


Oleh: Dr. Nyoman Marpa


Sebuah tulisan di satu harian surat kabar beberapa waktu lalu bercerita mengenai Sudamek AWS, bagaimana ia sebagai seorang CEO perusahaan keluarga membawa perusahaannya menjadi perusahaan multinasional dengan rencana ekspansinya di bebarapa negara. Tulisan ini juga bertutur bagaimana seorang bungsu dari sebelas bersaudara dapat menjadi pimpinan perusahaan keluarga, pada kultur indonesia yang lebih mengutamakan anak laki-laki pertama sebagai pimpinan dan pewaris keluarga. Juga sepak terjangnya dalam melakukan perubahan (transformasi) untuk membawa perusahaannya dari perusahaan keluarga biasa menjadi perusahaan dengan basis manajemen modern. Sungguh suatu yang luar biasa.

Keberhasilan Suksesi Kepimpinan dan Transformasi Perusahaan
Dari tulisan tersebut paling tidak ada dua hal yang menarik untuk disimak yakni: pertama, pimpinan perusahaan keluarga tidak mutlak dialihkan kepada anak laki-laki pertama,  ini menunjukkan adanya fleksibilitas di dalam suksesi kepemimpinan (succession flexibility). Fleksibilitas di dalam suksesi di banyak perusahaan keluarga di dunia telah berhasil membuat perusahaan keluarga mampu melewati batas-batas genarasi seperti halnya Kongo Gumi dan Hoshi Ryokan di Jepang, Château de Goulaine di Perancis serta  Fonderia Pontificia Marinelli di Italy yang telah berhasil bertahan seribu tahun lebih dan berganti kepemimpinan pada puluhan generasi. Fleksibilitas ini memberikan ruang gerak kepada pemilihan suksesor secara lebih terbuka dan profesional.

Seperti banyak disarankan oleh para ahli manajemen perusahaan keluarga, bahwa untuk menjadi calon pimpinan (suksesor) bukanlah urusan gender, bukan pula status dan kedudukan pada keluarga, tetapi lebih dari itu. 

Penulis pada tahun 2009 melakukan penelitian pada 190 perusahaan keluarga di Provinsi Bali. Daerah yang mengutamakan laki-laki sebagai pewaris keluarga, sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku. Namun, hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian pemilik perusahaan merencanakan untuk mengalihkan kepemimpinan perusahaannya pada anak perempuan. Hal ini positif tentunya, pertanda bahwa profesionalisme dan kesetaraan gender telah mulai tumbuh pada perusahaan keluarga. Syarat untuk menjadi pemimpin pada perusahaan keluarga pada intinya ada dua,  yakni pertama adalah kemauan (willingness) dan yang ke dua kemampuan (capabilities). Kemauan menyangkut masalah-masalah ketertarikan dari generasi penerus untuk bergabung dan mengambilalih pimpian pada perusaaan keluarga. Sedangkan kemampuan lebih pada fit & proper nya suksesor tersebut pada jabatan  yang akan dimasukinya.

Hal kedua yang menarik dari tulisan itu adalah adanya transformasi di dalam perusahaan keluarga. Garuda Food telah berubah dari perusahaan yang meproduksi kacang menjadi perusahaan berbasis makanan yang sangat disegani di Indonesia. Yang paling penting lagi adalah garuda food telah berhasil menerapkan manajemen modern, dengan kata lain telah berubah dari manajemen perusahaan keluarga yang konvensional menjadi manajemen perusahaan yang modern.

Seperti hal yang dilakukan oleh Garuda Food, transformasi, saat ini adalah satu tuntunan yang tidak dapat diabaikan bagi perusahaan keluarga. Perubahan pada perilaku konsumen, kecepatan perkembangan teknologi, perubahan pada kekuatan ekonomi global, serta arus globalisasi yang demikian pesat, telah memaksa setiap perusahaan, tidak terkecuali pada perusahaan keluarga untuk merubah diri, bertransformasi menjadi perusahaan dengan kekuatan sistem manajemen modern.

Fakta menunjukkan di hampir semua di belahan dunia, saat ini perusahaan keluarga sudah atau sedang melakukan perubahan-perubahan dengan mengadopsi konsep-kosep manajemen modern dalam operasionalnya.

Memang tidak boleh ditunda lagi. Kita sudah harus berani mulai merubah cara-cara, nilai-nilai kerja, perilaku serta paradigma lama, untuk menemukan dan menerapkan hal-hal baru yang lebih sesuai dengan tuntuan perkembangan lingkungan dunia usaha yang semakin mengglobal.  Apabila tidak, perusahaan yang telah dengan susah payah dirintis atau perusahaan yang diwariskan oleh pendahulu kita, dalam waktu tidak lama hanya akan tinggal kenangan.

Penulis adalah Chairman the Center for Family Business Studies  *Tulisan ini telah diterbitkan pada Harian Sinar Harapan tanggal 1 Maret  2011.