Kamis, 05 Januari 2012

MENYELAMATKAN PERUSAHAAN DAN KELUARGA MELALUI FAMILY COUNCIL

Oleh: Nyoman Marpa



Family Business Magazine  dalam edisinya beberapa waktu lalu bertutur mengenai kasus Midwestern Distribution Company. Sebuah perusahaan di Amerika  Serikat yang telah berumur 90 tahun dan sejak delapan tahun lalu  dikelola oleh generasi ketiga. Saat ini ada 122 orang anggota kelaurga yang terkoneksi dengan perusahaan ini. Diceritakan bahwa pada tahun 1992 perusahaan pertama kali mengalami masalah kewenangan (authority problems) seiring dengan pesatnya perkembangan perusahaan, masalah utama yang timbul saat itu adalah bagaimana pembagian kekayaan (estate planning) bagi setiap anggota keluarga baik bagi generasi ke dua maupun kepada generasi ketiga. Puncaknya pada tahun 1999 pada saat pimpinan perusahaan dari generasi ke dua mengalami sakit keras dan pada masa yang bersamaan terjadi kelahiran beberapa anggota keluarga generasi ke empat. Dalam kondisi tersebut semua pemegang saham berusaha menyelamatkan kekayaannya masing-masing. Perseteruan terjadi antar anggota keluarga sesama pemegang saham generasi ke dua. Semantara anggota keluarga generasi ke tiga tidak mendapat perhatian. Komunikasi antar anggota keluarga pada saat itu sangatlah buruk dan telah membawa perusahaan ke jurang perpecahan. Inisiatif brillian muncul dari beberapa anggota keluarga generasi ke tiga untuk melakukan pertemuan membahas bagaimana nasib dan masa depan perusahaan. Pertemuan keluarga pertama dilakukan oleh generasi ketiga ditengah compang-campingnya komunikasi antar anggota keluarga. Dalam pertemuan tersebut tercetuslah keinginan bulat dari seluruh anggota keluarga di generasi ketiga untuk memajukan perusahaan dan menbina hubungan keluarga dan perusahaan melalui rapat-rapat rutin anggota keluarga.

Cerita di atas merupakan satu contoh awal terbentuknya satu wadah yang secara informal namun sistematis membahas persoalan-persoalan keluarga dan perusahaan yang dilakukan oleh dewan keluarga atau yang dikenal dengan family council. Para pengusaha sukses biasanya berhasil merintis dan membesarkan usahanya melebihi apa yang pernah diimpikan. Namun kualitas hidup keluarga seringkali tidak berbanding lurus dengan dengan keberhasilannya dalam membesarkan perusahaan, sering kali keberhasilan perusahaan menghancurkan kualitas hidup keluarga. Dalam situasi seperti ini family council sering menjadi penyelamat baik perusahaan maupun keluarga.

Apa itu family council dan bagaimana mekanisme kerjanya? Family council bukanlah sekedar rapat anggota keluarga pemegang saham, atau reuni dan kumpul-kumpul keluarga dalam rangka merespon adanya krisis dalam perusahaan, tetapi lebih dari itu, family council merupakan pendekatan secara sistematis dalam rangka berbagi informasi baik mengenai perusahaan maupun pribadi anggota keluarga untuk mencari dan memberikan saran-saran dan terkadang membuat keputusan-keputusan keluarga.

Family council bukanlah lembaga resmi, namum merupakan satu wadah yang menampung kepentingan keluarga di dalam perusahaan untuk membahas berbahai hal seperti: siapa-siapa anggota keluarga yang akan berpartisipasi didalam perusahaan dan bagaimana keluarga lainnya mendukung mereka, bagaimana mengatur kesejahteraan anggota keluarga secara adil, bagaimana mengatur hubungan antara keluarga dengan para penasehat perusahaan, bagaimana mengatur hubungan keluarga dengan komunitasnya, mengklarifikasi kebijakan-kebijakan perusahaan, membuat usulan-usulan mengenai benefit bagi para manajer dan anggota keluarga, menyelaraskan antara tujuan-tujuan individu anggota keluarga dengan visi perusahaan serta memastkan bahwa nilai-nilai keluarga (family values) masih selaras dengan nilai-nilai yang dianut oleh perusahaan (business values).

Pada intinya family council  menjembatani komunikasi antara keluarga dan perusahaan, antara pihak-pihak yang mengelola perusahaan dengan pemegang saham keluarga yang tidak terlibat melalui pertemuan-pertemuan keluarga yang dilakukan secara sistematis. Family council akan membuat konsensus-konsensus keluarga yang ada hubungannya dengan tatakelola keluarga dan perusahaan.

Mengacu pada kasus di atas yang sangat mungkin  terjadi pada setiap perusahaan keluarga di manapun di dunia ini, maka sudah selayaknya perusahaan keluarga membentuk family council dalam upaya menyelamatkan perusahaan sekaligus keluarga.

Penulis adalah Chairman the Center for Family Business Studies

MENYATUKAN TIGA SISTEM DALAM SATU KEPENTINGAN


Oleh: Nyoman Marpa



Beberapa hari yang lalu, seorang teman baik, seorang Chief Executive officer (CEO) sebuah perusahaan asing yang ada Indonesia, memberikan pesan singkat berbunyi: “in the 21th  century, all companies are service company and the service resources are people, people…and people”. Pesan singkat itu bermakna sangat dalam, mengingatkan kembali betapa pentingnya unsur manusia bagi sebuah organisasi bisnis, yang akhir-akhir ini mereka tidak lagi menyebutnya  human resources melainkan human capital. Menegaskan bahwa manusia adalah modal utama bagi sebuah organisasi bisnis.

Sebagai pemerhati perusahaan keluarga, penulis memandang sumber daya manusia atau yang tadi disebut sebagai human capital memiliki dua sisi mata. Pertama, tentu saja, tidak diragukan lagi, bahwa manusia adalah penggerak utama jalannya perusahaan. Kedua, manusia dengan perbedaan latar belakang, kepentingan, status sosial, serta perbedaan peran, yang berkumpul dalam satu organisasi, memiliki potensi memunculkan adanya konflik-konflik kepentingan.

Tanpa kita sadari, bagi perusahaan keluarga (family business), konflik kepentingan ini bisa menjadi lebih kompleks. Hal ini sejalan dengan konsep behavioral theory of the firm, yang mengatakan bahwa perusahaan merupakan sekumpulan pihak yang berkontribusi dimana masing-masing elemen memiliki kepentingannya sendiri-sendiri. Maka akan semakin kompleks unsur manusia di dalamnya, semakin besar pula kemungkinan terjadi benturan-benturan kepentingan.

Tiga sistem inti
Untuk lebih menyederhanakan, para ahli manajemen perusahaan keluarga seperti Ernesto J. Poza, John L. Ward, Gerard Le Van, dan yang lainnya, memandang perusahaan dalam tiga kelompok yang saling berhubungan  yang mereka sebut dengan the three circle model of family business.

Ketiga kelompok ini saling berinteraksi, berkontribusi dan saling bersinggunan, yang berisikan: unsur keluarga, unsur bisnis dan unsur kepemilikan. Masing-masing unsur memiliki sistem dan tatanan tersendiri. Oleh karenanya di dalam perusahaan keluarga ada tiga sistem inti yang harus dipahami dan dikelola dengan baik yakni sistem keluarga (family system), sistem bisnis (business system) dan sistem kepemilikan (ownership system).

Memadukan tiga sistem yang saling berbeda, baik dari cara pandang maupun ukuran-ukurannya bukanlah hal yang mudah. Rasional dan outward looking yang menjadi tatanan dasar pada sistem bisnis berpadu dengan irasionalitas dan inward looking yang menjadi dasar dari sitem keluarga, time horizon yang menjadi dasar sistem kepemilikan berpadu dengan perpetualitas yang dimiliki oleh sistem keluarga dan bisnis. Ukuran-ukuran moneter (monetary measurement) berpadu dengan ukuran-ukuran yang lebih bertumpu perasaan dan lain sebagainya,  seringkali bercampur baur dalam satu wilayah dan rentang waktu yang sama, yang oleh Quentin J. Fleming dikenal dengan wilayah pertempuran hidup atau mati atau zone of mortal combat.

Dinamakan zone of mortal combat dikarenakan setiap pimpinan perusahaan keluarga atau siapapun berperan di dalam pengelolaan perusahaan dituntut untuk dapat menaklukkannya (dalam kata lain mengelolanya), apabila tidak ingin perusahaan jatuh. Kepiawaian mengelolanya adalah satu keharusan.

Penulis adalah Chairman the Center for Family Business Studies

Selasa, 03 Januari 2012

Tujuh Sindrom Mematikan


Oleh : DR. Nyoman Marpa

Berkenaan dengan hubungan antara keluarga dan perusahaan di dalam family business, ada tujuh kesalahan fatal yang dapat menghancurkan perusahaan. Oleh para ahli dikenal dengan the seven deadly sins. Sindrom ini sedapat mungkin dibuang. Jika satu saja dari tujuh sindrom ini ada di dalam perusahaan kita, maka perusahaan telah kehilangan imunitasnya. Tujuh sindrom ini berkaitan dengan bagaimana virus yang disebabkan oleh perilaku, pengalaman, perlakuan serta kaidah-kaidah yang tidak benar yang ada di dalam keluarga yang kemudian diteruskan ke perusahaan.

Ketujuh sindrom tersebut adalah; pertama adalah perlakukan, kebiasaan dan keyakinan-keyakinan yang ada pada masa kanak-kanak terbawa ke dalam perusahaan. Kehidupan masa lalu yang  diperlakukan istimewa oleh pendahulunya (orang tua), terbawa ke dalam perusahaan, kemudian muncul sifat-sifat seperti:  semua keinginannya harus cepat dipenuhi, semua harus mengikuti jalannya, manja dan kurang bertanggun jawab.

Ke dua, kegagalan untuk mengakui bahwa sistem bisnis berbeda dengan sistem keluarga. Kemudian memaksakan sistem-sistem dan tatanan yang berlaku pada keluarga ke dalam perusahaan. Seperti halnya herarki keluarga, anak tertua harus mengambil tanggung jawab paling besar, anak laki-laki harus mengambilalih perusahaan dan seterusnya, sedangkan kapabilitasnya belum tentu selaras dengan herarkinya. Hal lain juga seperti orang tua memberi perlakuan yang sama kepada seluruh anaknya, tanpa melihat aturan yang berlaku di perusahaan.

Ke tiga, orang tua tidak dapat menerima bahwa anak-anaknya sudah tumbuh dewasa dan dapat diberi tanggung jawab. Selalu dianggap masih kanak-kanak. Kemungkinan yang dapat terjadi adalah: anak akan frustasi karena tidak dianggap berkontribusi, atau dia akan memiliki ketergantungan yang sangat tinggi, bisa juga terjadi persaingan yang tidak sehat antara anak dan orang tua.

Ke empat, sindrom father knows best. Merupakan satu bentuk kegagalan untuk mengakui bahwa setiap anggota keluraga adalah satu individu, yang memiliki kreativitas dan pemikiran sendiri. Memaksakan bahwa orang tua yang paling benar dan harus diikuti. Dampaknya akan mematikan kreativitas dan inovasi, serta bisa jadi muncul pembangkangan dari generasi berikutnya.


 Ke lima, adanya pendiri perusahaan yang memilki karakter terlalu kuat yang dikultuskan oleh semua individu yang ada diperusahaan. Persoalannya adalah apabila pendiri tersebut tidak ada lagi di perusahaan, maka perusahaan akan kehilangan karakter dan kekuatannya.

Ke enam, gagal menatasi masalah-masalah pribadi antar anggota keluarga di dalam perusahaan yang cenderumg memuncak dan merusak. Konflik individu antar anggota keluarga dalam urusannya di perusahaan seringkali terpendam. Tata kelola perusahaan seringkali tidak mampu menyentuh dan menyelesaikan masalah ini. Dampaknya kemudian secara diam-diam masalah ini membesar dan berbahaya.

Ke tujuh, adanya anak-anak yang masuk ke dalam perusahaan namun masih memiliki masalah-masalah masa kecil mereka yang belum terselesaikan. Persoalan-persoalan antara kakak adik, anatara para sepupu di masa kecil dan remajanya harus sudah diselesaikan sebelum mereka masuk ke dalam perusahaan. Apa bila tidak, akan terbawa ke dalam urusan-urusan perusahaan dan berbahaya.

Demikianlah tujuh hal yang harus dihindarkan di dalam perusahaan keluarga dalam kaitannya dengan perilaku, tatanan dan perlakuan-perlakuan yang ada di dalam keluarga. Dengan menghindarkan ke tujuh sindrom tersebut, ditambah lagi dengan perencanaan strategis dan tata kelola perusahaan yang baik, maka perusahaan akan tumbuh secara berkesinambungan atau dalam kata lain memiliki sustainable growth.
               

               

Selasa, 13 September 2011

PELAJARAN DARI NEWS CORP


Oleh:  Nyoman Marpa



Gonjang-ganjing skandal penyadapan  yang dilakukan oleh kelompok media News Corp memang sedang hangat dan membuat terperangah banyak pihak. Bagaimana satu kelompok media terkemuka melakukan hal-hal yang kurang terpuji dalam mendapatkan sumber berita serta melanggar etika-etika berbisnis yang. Memang sangat ironis, karena dilakukan oleh perusahaan yang berbasis di negara adidaya yang selama ini membanggakan diri dengan standar dan kode etik berbisnis kelas dunia dan dijadikan contoh oleh negara-negara lain didunia. Mengikuti kasus ini kita seolah-olah diingatkan pada salah satu film James Bond yang berjudul Tomorrow Never Dies yang berisikan praktik-praktik tidak terpuji yang melibatkan kelompok media terkemuka dalam menghasilkan berita.

Namun jauh ke dalam lagi, ada gegap gempita yang lebih seru. Gemerlapnya berita mengenai skandal ini tidak mengalahkan hingar-bingarnya masalah yang melibatkan keluarga Murdoch yang telah mendirikan perusahaan ini seajack 80 tahunan lalu, yang diakibatkan oleh kasus ini. Menurut berita yang dirilis oleh Family Business Magazine Bulan Juli 2011, kasus ini telah membuat keretakan diantara anak-anak Rupert Murdoch pemilik dan mantan pimpinan perusahaan ini. Hubungan antar anggota keluarga Murdoch memanas signifikan sejak mencuatnya kasus ini. Keharmonisan hubungan antara James Murdoch suksesor dari Rupert Murdoch dengan adiknya Elizabeth Murdoch dan kakaknya Lachlan Murdoch berada pada titik nadir. Disamping itu, tentu saja, dampak dari skandal ini akan merambah kepada kinerja perusahaan dimasa yang akan datang. Sampai-sampai banyak pihak menyarankan agar News Corp segera melakukan reformasi pada jajaran manajemen puncak perusahaan.

Sebagian orang menganggap ini adalah hasil pemilihan James Murdoch sebagai suksesor dari kelompok usaha ini. Beberapa pengamat mengatakan bahwa pengangkatan James sebagai pengganti Rupert menjadi pelajaran tentang bagaimana suksesi amat penting dalam kelangsungan perusahaan. Pengangkatan James dinilai tidak tepat. Financial Times menambahkan perlu dilakukan evaluasi atas kinerja James sebelum diangkat menjadi suksesor, perusahaan keluarga memang sering kali melakukan kesalahan pemilihan dikarenakan oleh alasan yang keliru. Dan ini amat berbahaya.

Pelajaran apa yang dapat kita petik dari kasus ini? Kekeliruan dalam melakukan pemilihan suksesor bisa terjadi di semua perusahaan keluarga, tidak terkecuali perusahaan besar. Bahkan semakin besar perusahaan bisa jadi semakin rumit permasalahannya. Sekali lagi, permasalahan suksesi adalah permasalahan multi dimensi. Proses penyiapan suksesor harus melibatkan berbagai aspek, tidak hanya dilihat dari kemampuan pribadinya saja. Masih banyak aspek lain, seperti kesungguhannya dalam memelihara nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh pendahulunya. Demikian pula dalam proses peralihannya, seyogyanya melibatkan sebanyak mungkin pihak-pihak yang berkepentingan terhadap perusahaan, hindarkan sedapat mungkin subyektifitas. Suksesi seyogyanya melibatkan tidak hanya anggota keluarga tetapi juga stakeholder lainnya. Dilakukan secara evolusi bukan revolusi, yakni bertahap dari mulai bagaimana menyiapkan calon suksesor, memilih sampai pada melibatkannya di dalam urusan-urusan perusahaan, sampai pada bagaimana transfer kepemimpinan dilakukan.  Selain itu, kita dapat melihat adanya ketidakharmonisan di dalam keluarga Murdoch berpengaruh timbal balik terhadap kejadian-kejadian atau kinerja perusahaan. Ini memberikan kita pelajaran bahwa penting untuk menjaga keselarasan dua sistem yakni sistem keluarga dan sistem perusahaan.  Keharmonisan keluarga akan mendorong berjalannya sistem perusahaan secara baik dan akhirnya meningkatkan kinerja perusahaan dalam jangka panjang.

Chairman the Center for Family Business Studies *Tulisan ini telah diterbitkan pada Harian Sinar Harapan tanggal 13 September 2011.


------- 0000 ------ 

Rabu, 17 Agustus 2011

MENYIAPKAN SUKSESOR


Oleh: Nyoman marpa
.

Sebuah majalah bisnis ibukota pada bulan Maret 2011 memuat wawancara dengan Andreas dan Anton Faber-Castell generasi ke delapan dari pemilik industri pensil dan karet penghapus terkenal di dunia Faber-Castell.  Satu pernyataan yang mengindikasikan adanya tradisi suksesi yang sangat kuat dan patut kita contoh dari perusahaan keluarga yang sudah berumur  250 an tahun ini antara lain dikatakan oleh Andreas dan Anton sebagai berikut, ”ayah saya memilih kakak saya sebagai pimpinan perusahaan dan pemegang saham mayoritas, ia bukan anak tertua tapi dia yang dianggap paling qualified. Saya bekerja dibanyak perusahaan lain sebelum bergabung ke perusahaan keluarga demikian pula saudara saya yang lain. Kami dipilih untuk bergabung dengan perusahaan juga karena kualitas kami. Itu dilihat dari kesuksesan kami di luar perusahaan ini. Anak saya juga bekerja di perusahaan lain sekarang. Sangat penting bagi anak-anak untuk mengetahui bahwa mereka memiliki kesempatan di luar sana.”

Petikan tersebut sangat singkat, namun memiliki makna yang amat dalam. Bahwasanya suksesi kepemimpinan di dalam perusahaan keluarga seyogyanya dilakukan secara sistematis. Mengindikasikan bahwa suksesi tidak ada kaitannya dengan hirarki keluarga, tidak pula berkaitan dengan gender. Suksesi hanya berkaitan dengan kapabilitas dan integritas. Tidak perduli dia anak tertua atau termuda, laki-laki atau perempuan, semuanya memiliki kesempatan yang sama untuk menggantikan pendahulunya.

Menjadi calon pimpinan atau suksesor perusahaan keluarga disyaratkan secara mutlak memiliki dua hal yakni: kemauan dan kemampuan. Kemauan berhungan dengan kesediaan calon suksesor untuk meneruskan perusahaan yang telah dirintis oleh pendahulunya. Hal ini berkaitan dengan komitmen untuk memajukan perusahaan keluarga. Tidak jarang pewaris tidak bersedia untuk melanjutkan usaha orang tuanya, dan lebih suka meniti karir di tempat lain. Di Inggris misalnya, hasil penelitian mengatakan bahwa sebagian besar pewaris lebih suka  bekerja di tempat lain dibandingkan meneruskan usaha keluarga. Celakanya adalah, bahwa semakin tinggi kapabilitas pewaris membuat dia semakin tidak berminat untuk kembali ke perusahaan keluarga. Bagaiman membuat para pewaris yang memiliki kapabilitas bersedia tersebut bersedia bergabung dengan perusahaan keluarga bukanlah perkara mudah, karena personel yang memiliki kapabilitas biasanya memiliki banyak pilihan untuk berkarir di tempat lain di luar perusahaan keluarga.

Kemampuan suksesor berhubungan dengan beberapa hal seperti: kesesuaian dan tingkatan pendidikannya, pengalaman dan kesuksesan di tempat lain di luar perusahaan keluarga, lama waktu bergabung di dalam perusahaan dan usia dari suksesor.


Tingkat  pendidikan yang cukup akan memberikannya kemampuan untuk mencerna permasalahan. Pengalaman di luar perusahaan keluarga akan menjadi referensi penting  dalam memecahkan masalah dan mengambil keputusan. Sebagian besar pewaris yang sukses adalah mereka yang memiliki pengalaman dan kesuksesan di luar perusahaan. Lama waktu bergabung di perusahaan juga penting untuk memberikan kesempatan kepada  suksesor untuk memahami nilai-nilai perusahaan serta menjalin harmonisasi dengan pihak-pihak  yang terkait. Usia berkaitan dengan produktivitas dari suksesor, tidak boleh terlalu muda atau terlalu tua. Dia harus sudah menggantikan pendahulunya untuk memimpin perusahaan pada usia produktif.

Dengan menyiapkan siapa pengganti pimpinan perusahaan secara tersistem sepeti yang dilakukan oleh Faber-Castell kita telah menyiapkan peruahaan keluarga untuk melintasi generasi ke generasi dan mempertahankan sustainabilitasnya. Cara-cara yang tersistem tersebut hendaknya menjadi contoh bagi perusahaan-perusahaan keluarga di Indonesia agar dapat berkembang maju dari generasi ke generasi.

Penulis adalah Chairman the Center for Family Business Studies  *Tulisan ini telah diterbitkan pada Harian Sinar Harapan tanggal 16 Agustus 2011

Selasa, 16 Agustus 2011

BELAJAR DARI JEPANG


Oleh:  Nyoman Marpa

Jepang adalah negara yang memiliki perusahaan keluarga tertua terbanyak di dunia. Kongo Gumi dan Hosi Ryokan misalnya, merupakan dua perusahaan jepang yang menduduki peringkat pertama dan kedua tertua di dunia yang telah berumur lebih dari 1000 tahun. Bukan hanya itu, selain dua perusahaan tersebut, setidaknya Jepang memiliki enal lagi perusahaan yang umurnya lebih dari 1000 tahun sebut saja Keiunkan, Koman, Genda Shigyo, Tanaka-Iga, Nakamura Shaji dan Sakan.

Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Tokyo Shoko Research, Jepang memiliki tidak kurang dari 22.666 perusahaan yang berumur lebih dari 100 tahun, tidak kurang dari 3.146 perusahaan sudah berumur lebih dari 200 tahun. Sebagian perusahaan tersebut adalah perusahaan keluarga. Jumlah ini melebihi apa yang dimiliki oleh negera-negera besar di Eropa dan juga Amerika. Bahkan di Amerika Serikat, berdasarkan riset yang dilakukan oleh William T. Ohara, perusahaan keluarga tertua baru berdiri pada tahun 1623 yakni Zildjian Cymbal Co. Bandingkan dengan Kongo Gumi yang sudah berdiri sejak tahun 578 dan berumur sudah lebih dari 1400 tahun.

Kita dapat bayangkan bagaimana kokohnya fundamental ekonomi negara ini dengan dasar korporasi yang sudah berakar ratusan bahkan ribuan tahun. Dengan banyaknya perusahaan yang yang telah berumur ratusan tahun tersebut, membuat negara ini sangat stabil dan kuat secara ekonomi. Sampai sampai Michael Porter, ahli manajemen strategis,  mengatakan bahwa Jepang merupakan negara dengan tingkat persaingan yang sangat kuat di dunia. Negara yang sulit ditandingi oleh negara manapun di dunia. Tidak heran jika Jepang menjadi salah satu kekeuatan sentral ekonomi dunia yang sudah berlangsung lama dan akan berkelanjutan dimasa yang akan datang.

Korporasi yang sudah berumur ratusan bahkan ribuan tahun tersebut telah mengalami berbagai dinamika perkembangan, berbagai ujian, berbagai perubahan baik yang terjadi di dalam maupun perubahan-perubahan makro dunia. Perusahaan-perusahaan ini seolah-olah telah memiliki imunisasi dari virus-virus yang mengganggu perkembangannya. Banyaknya perusahaan kuat yang telah berumur tersebut dapat juga menjadi jaminan stabilitas penyerapan tenaga kerja, berbeda dengan kondisi negara yang korporasinya lemah dan kropos, setiap kali tenaga kerja dihadapkan pada pemutusan akibat perusahaan tempatnya bekerja tidak mampu lagi bertahan hidup.

Bagaimana dengan Indonesia? Mari kita memotret diri kita, dengan penduduk yang demikian besar, perusahaan yang berumur 100 tahun dapat dihitung dengan jari. PT. Pos yang mengklaim diri sudah berumur 265 tahun, semen padang yang semula bernama NV Nederlandsch Indische Portland Cemment yang berdiri tahun 1910, Jamu Iboe yang tercatat perusahaan keluarga tertua di Indonesia baru berdiri tahun 1910 dan masih ada sedikit korporasi peninggalan pendahulu kita, namun belum cukup untuk menopang ekonomi negara dengan penduduk yang demikian besar.

Oleh karenanya, belajar dari negara Jepang, dan mengingat besarnya peran korporasi terutama perusahaan keluarga di dalam menopang perekonomian negara, sudah selayaknya semua pihak berupaya untuk menjaga sustainabilitas perusahaan keluarga di Indonesia. Karena dengan menyelamatkan perusahaan keluarga berarti kita telah menyelamatkan perekonomian masyarakat dan negara. Apabila tidak, maka dimasa yang akan datang kita akan mengalami kondisi  ekonomi tambal sulam.

Penulisa adalah Chairman the Center for Family Business Studies *Tulisan ini telah diterbitkan pada Harian Sinar Harapan tanggal 16 Agustus 2011.


----0000----